Tampilkan postingan dengan label Prosais. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prosais. Tampilkan semua postingan
Pemberontakan Kapal Haji

Pemberontakan Kapal Haji

07.45.00 Add Comment

(Berikut ini adalah cuplikan satu bab novel terbaru Orhan Pamuk berjudul “Malam-Malam Wabah”, diterjemahkan dari bahasa Turki oleh tim kami, Bernando J. Sujibto).

Gubernur Sami Pasha berpikir keras tentang usaha pentingnya karantina kepada syekh Hamdullah. Pasha mengenal syekh itu segera setelah dia ditugaskan ke pulau itu lima tahun lalu. Waktu itu, dia tampil dengan perawakan seorang lelaki yang lemah lembut, sopan, dan penuh kasih sayang dengan minat yang kuat terhadap karya sastra. Mungkin pembawaanya masih begitu. Di tahun pertama, mereka pernah berbincang hal ihwal kehidupan, buku, dan spiritualitas. Meskipun bersahabat, langkah karantina kali ini tidak akan berjalan baik untuk persahabatan maupun negara, dan sialnya urusan bisnis akan berpindah ke ranah internasional.

Karena penulis utama dua surat kabar berbahasa Yunani Adekatos Arkadi masih berada dalam penjara bawah tanah, Gubenur Pasha memanggil editor utama Neo Agnos ke hadapannya agar menuliskan berita tentang upaya disinfektan terhadap pondokan syekh Hamdullah jika besok surat kabar itu terbit. "Tidak perlu berita lain untuk topik ini," pintanya. Dengan kebohongan yang tak perlu yang seolah-olah terjadi wabah kolera, sang gubernur berkata "baru keluar dari oven!" sembari menawarkan buah prem, kenari, dan kopi kepada jurnalis muda nasionalis Yunani ini, yang sebelumnya pernah dijebloskan ke penjara dan surat kabarnya dibredel berkali-kali. Tepat di pintu ketika hendak keluar, Pasha mengancamnya sembari tersenyum dan mengatakan bahwa tugas media adalah mendukung sultan dan negara, jangan berbuat ceroboh terhadap krisis dan bencana yang melanda hebat di mana Istanbul dan dunia sangat peka terhadap masalah ini, jika tidak ingin kembali menanggung risiko.

Keesokan harinya, petugas juru tulis membawa koran Neo Agnos yang baru saja naik cetak. Petugas penerjemah dengan hati-hati membacakan berita kepada Pasha yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Turki dengan suara jelas.

Yang dikatakan Gubernur Pasha untuk “jangan ditulis!” dalam berita sepertinya tetap ditulis dengan sangat jelas, diumumkan ke seluruh pulau dan dunia bahwa tim disinfektan ditolak masuk di gerbang pondok Helveki. Di tengah berita yang tersebar, Pasha menginginkan rasa puas terhadap kabar ini terus diperluas. Gubernur ingin segera melihat bahwa berita ini telah membuat para ahli jimat, para petani yang taklid kepada syekh, para pemuda imigran Kreta yang pemarah, semua umat Muslim, dan bahkan yang paling tercerahkan sekalipun mencurigainya sebagai anti-gubernur dan melawan karantina.

Ada peristiwa sejarah yang berhubungan dengan Manolis, jurnalis yang menulis berita tersebut. Tiga atau empat tahun sebelumnya, jurnalis pemberani itu pernah melakukan peliputan tentang masalah-masalah pemerintah kota—tentang jalan-jalan yang rusak, dugaan-dugaan kasus penyuapan, pegawainya yang pemalas dan bodoh—untuk melemahkan posisi gubernur dan pemerintahan Usmani. Ketika Gubernur Pasha mengancam akan menutup surat kabar dan mengirimkan utusan agar mengatasi situasi, dengan sedikit bersabar tetapi tetap tidak mentolerir, jurnalis itu pun sedikit melunak. Berselang waktu kemudian, publikasi yang menuduh gubernur dan menyalahkan karantina dalam berita tentang "insiden kapal jamaah haji", yang kali ini membuatnya sangat gelisah, memaksa Manolis terjerembab ke penjara bawah tanah dengan alasan lain, tetapi setelah beberapa waktu tekanan dari Duta Besar Inggris dan Prancis dan juga karena telegram dari Istana Mabeyn membuatnya harus dibebaskan.

Sekarang hal ganjil berbau khianat yang membuat Pasha merasa sakit adalah bahwa setiap perjumpaannya dengan Manolis, yang sudah dikeluarkannya dari penjara, kedekatan khusus yang dibangunnya terasa sia-sia! Begitu mereka bertemu di Hotel Splendid, di antara kereta kuda dan para kuli, Pasha mengatakan kepada Manolis bahwa dia sudah menulis kontroversi dengan sangat baik di korannya, mengucapkan selamat kepadanya untuk sumber-sumber informasinya, dan sudah menyiapkan anggaran uang gubernur untuk penerbitan artikelnya di surat kabar berbahasa Turki Havadis-i Minger milik kantor gubernur, dan untuk dua artikel yang lain. Di lain waktu, ketika mereka bertemu di restoran Degustation, sang gubernur memperlakukan Manolis dengan baik di depan semua orang, mengajaknya duduk di sampingnya, memesan sup ikan belanak aroma bawang, dan mengabarkan kepada semua orang bahwa surat kabarnya paling dihormati di wilayah Levant.

Setelah semua kedekatan ini, Gubernur Pasha yakin bahwa permintaan kecil kepada Manolis agar tidak menuliskan berita tentang larangan akses tim disinfektan ke pondok syekh akan diterima. Bagi Pasha situasi ini mengindikasikan adanya kekuatan lain di waktu bersamaan, dan kekuatan ini membuat Manolis berpikir bahwa dirinya menuliskan semua berita ini dan tentu saja artikel-artikel yang lama. Kekuatan itu siapa? Pasha memutuskan untuk menjebloskan jurnalis provokator dan pemberani ke penjara bawah tanah, menggosok hidungnya sekali lagi di sel yang dingin dan lembab, dan sembari menekan mencari tahu siapa yang telah menulis berita tentang kapal-kapal jamaah haji. Polisi-polisi sipil yang dikerahkan untuk mencari Manolis akhirnya menemukannya ketika dia sedang membaca buku (Leviathan karya Thomas Hobbes) di sebuah taman rumah pamannya yang menjadi tempat persembunyiannya, bukan di rumah sendiri di daerah Kora, dengan kumpulan salinan surat kabar dari kantornya, dan lalu membawanya ke penjara bawah tanah. Pasha, yang hatinya melunak, akhirnya meminta agar penjara jurnalis di sel bagian barat, lebih aman dan jauh dari epidemi.

Sampai pada bagian ini, agar pemahaman terhadap cerita lebih baik, kami ingin mundur tiga tahun silam dan menceritakan tentang “Pemberontakan Kapal Haji" yang runyam secara politis dan masih sangat menyiksa secara personal. Beberapa sejarawan menyebut insiden itu sebagai "Pemberontak Jamaah Haji", dengan pesan tersirat bahwa orang-orang berhaji yang salah, padahal itu tidak benar.

Tahun 1890, salah satu langkah yang diambil oleh "Kekuatan Besar" untuk menghentikan wabah kolera yang menyebar ke seluruh dunia melalui Mekkah dan Madinah dari kapal-kapal jamaah haji dari India adalah dengan melakukan karantina sepuluh hari di setiap negara saat kapal-kapal tersebut kembali. Karena tidak mempercayai karantina yang diberlakukan oleh pemerintahan Usmani di Hijaz misalnya, Prancis memberlakan karantina terakhir bagi jamaah haji yang datang dari Hijaz dengan kapal Persepolis dari perusahaan Messagerie di wiliyah yang dikuasai Prancis di Aljazair sebelum mereka kembali ke daerah masing-masing.

Otoritas Usmani juga menerapkan langkah ini berdasar pada kelemahan dan ketidakbecusan Organisasi Karantina Hijaz di tahun-tahun pertama. Komite Karantina di Istanbul mewajibkan “karantina tambahan” bagi para jamaah haji yang dibawa oleh kapal di setiap sudut daerah kekaisaran—tak peduli ada atau tidak ada bendera kuning atau penumpang sakit.

Karena harus menunggu sepuluh hari di karantina di daerah mereka masing-masing, setelah melakukan perjalanan panjang yang frustrasi dan mengakibatkan kematian banyak orang (seperlima jamaah haji dari Bombay dan Karachi tewas selama perjalanan ini), mereka berdemonstrasi besar-besaran. Dalam situasi tersebut, para prajurit juga dipanggil, dan tenaga medis meminta bantuan polisi dan pasukan keamanan di banyak tempat. Karena tempat-tempat karantina di pulau-pulau kecil dan di pelabuhan terpencil tidak memadai seperti terjadi di Minger, atau rumah-rumah tua para petani yang berhaji tidak cukup untuk menampungnya, mereka menyewa secara serampangan dan menggunakan kapal-kapal murah, tongkang dan barang-barang rongsokan. Sebagian kapal tersebut ditarik ke teluk yang terpencil, atau berlabuh di daerah kosong seperti Chios, Kusadasi dan Thessaloniki, dan tenda-tenda darurat milik militer dibangun di sekitar mereka. Selama sepuluh hari, para petugas kesehatan berusaha mengumpulkan makanan, minuman dan membersihkannya untuk para jamaah haji yang berada dalam karantina.

Para jamaah yang ingin kembali ke rumah masing-masing sangat menentang karantina. Mereka yang dalam perjalanan tidak mengalami gangguan sakit ikut terkapar sekarat dalam sepuluh hari terakhir. Percekcokan dan pertengkaran jamaah haji melawan para dokter dari kekaisaran Usmani yang kebanyakan orang Yunani, Armenia, dan Yahudi tak terhindarkan. Adanya pajak karantina di tengah karantina paksa tersebut membuat mereka naik pitam. Beberapa jamaah kaya dan banyak akal bulus menyogok para dokter agar bisa terbebas dari karantina sejak awal, dan bagi yang lain menunggu dalam kesabaran.

Ketidakbecusan penanganan di pulau Minger menciptakan peristiwa serupa yang paling mengerikan di negara Usmani. Kapal bernama Persia berbendera Inggris dari Mekkah dilarang masuk ke pelabuhan pusat kota, seperti sudah diperintahkan oleh telegram yang dikirim dari Istanbul, dan empat puluh tujuh jamaah haji dibawa ke sebuah kapal barkas rusak yang ditemukan oleh Manajer Karantina Nikos, dan kapal bekas itu kemudian ditarik berlabuh di salah satu teluk kecil di utara pulau Minger. Dikelilingi oleh pegunungan berbatu dan tebing yang tak tertembus, teluk terpencil ini cocok untuk karantina karena berfungsi sebagai penjara alami bagi para jamaah. Tetapi gunung dan tebing-tebing itu menyulitkan pasokan pengirim makanan, air bersih, dan obat-obatan untuk mereka.

Pendirian tenda di pantai untuk mengontrol para jamaah haji, tempat penampungan dokter, tentara, dan peralatan kesehatan lainnya tertunda karena badai. Dalam badai lima hari itu, para jamaah haji di Minger terombang-ambing karena ombak, menderita tanpa makanan dan minuman, dan terik matahari memanggang punggung mereka. Ini pengalaman pertama mereka bepergian ke luar pulau dalam sejarah hidupnya. Ada jamaah paruh baya berjanggut di antara kerumunan jamaah haji yang bekerja sebagai pekebun zaitun dan petani-petani kecil itu. Di antara mereka ada juga anak-anak muda religius berjanggut yang membantu bapak dan kakeknya.

Lima hari kemudian, ketika wabah kolera makin merebak di tongkang pengap itu, satu dan dua jamaah yang sudah kelelahan mulai tewas setiap hari. Jumlah korban meningkat setiap hari. Para jamaah haji tua dan alim terus bersabar meskipun para petugas dan dokter yang membawanya ke kapal bekas yang kotor dan menjadi sumber penyakit itu tidak muncul lagi. Dua dokter Yunani, yang datang ke karantina dengan menunggang kuda selama tiga hari, lalu memakai perahu dayung dan pelan-pelan menaiki kapal yang penuh penyakit untuk memeriksa mereka yang telah frustasi dan marah. Beberapa jamaah tidak bisa memahami mengapa mereka ditahan di sini, tetapi mereka mulai merasakan kondisi yang semakin tragis. Sebagian jamaah haji tua yang hampir mati, dengan pandangan mata yang aneh, tidak ingin dokter Kristen itu menyuntikkan cairan obat kepada dirinya. Sementara dua alat penyemprot disinfektan yang dibawa melintasi gunung dengan menunggang kuda sudah rusak pada hari pertama. Sisa tenaga mereka dihabiskan bertengkar melawan sebagian jamaah yang mengatakan mayat-mayat akan dilempar dari kapal, dengan bersikeras “mereka mati syahid, kerabat kami, dan kami akan menguburkannya di desa.”

Pemberontakan pun terjadi di atas kapal itu pada akhir minggu pertama di tengah epidemi yang sudah tidak dapat dikendalikan dan selain itu karena penguburan mayat-mayat berbau busuk terbengkalai dan terus bertambah setiap harinya.

Para jamaah haji yang marah pertama-tama menyerang dua prajurit Muslim dari Trabzon dan melemparkannya ke laut. Karena sebagian besar jamaah (faktanya, mayoritas penduduk di bawah kekaisaran adalah Muslim) yang tidak bisa berenang mati tenggelam, sang Gubernur Pasha munghukum Komandan Garnisun secara berlebihan.

Sementara itu, para jamaah haji yang muda berlayar dengan sisa rongsokan kapal, tetapi kapal ringkih itu akan menerobos bebatuan, bergoyang ke kiri dan kanan seperti mabuk laut di alam terbuka untuk sementara waktu, dan setengah hari kemudian mereka terdampar di teluk lain, sebuah tempat agak ke barat.

Dengan menuruni batu-batu, para jamaah yang sudah kelelahan tidak bisa dengan mudah keluar menuju desa karena mereka harus mengambil air yang dipakai untuk menyeimbangkan berat barang-barang yang dibawanya. Jika terus begitu, pemberontakan mungkin bisa dilupakan meskipun itu sudah menelan nyawa. Ketika bergerak, para jamaah haji terjebak dalam perahu dengan mayat-mayat yang semakin membusuk, sembari berjuang melawan gelombang, menjaga keseimbangan, dan mereka juga tidak bisa memindahkan botol-botol air zamzam yang sudah terkontaminasi kolera.

Beberapa saat kemudian, pasukan keamanan yang mengawasi kapal mereka sudah mengambil posisi di belakang bebatuan dan di atas tebing. Para komandannya memperingatkan mereka untuk menyerah, mematuhi aturan karantina, meninggalkan kapal, dan tidak mendarat. Para jamaah haji kalang kabut dan sporadis: Mereka sudah paham akan dikarantina lagi dan mereka akan mati kali ini. Bagi para jamaah, karantina yang ditemukan di Barat adalah bentuk kelicikan umat Kristen untuk menghukum dan membunuh para jamaah haji yang sehat dan lalu menggasak uangnya.

Suatu pagi, ketika sejumlah jamaah mulai menaiki bebatuan dan kabur melewati jalan-jalan pintas, kedua pasukan mulai menghujani tembakan. Anggota prajurit yang lain ikut memberondongnya untuk menutup jalan kabur. Mereka bersemangat seperti ketika mengusir gerombolan musuh yang menyerang Minger. Butuh delapan hingga sepuluh menit untuk membungkamnya. Banyak para jamaah haji yang tewas tertembak.

Gubernur Sami Pasha melarang publikasi berita tentang kejadian ini; berapa banyak jamaah haji yang ditembak atau mereka yang menyerah dan kembali dikarantina, sampai hari ini—seratus dua puluh tahun kemudian (beberapa dari mereka yang benar-benar meninggal karena kolera di karantina kedua); dan berapa banyak dari mereka akhirnya kembali ke desa-desa dalam kondisi sakit, dan tidak ada pula keterangan di balik sejarah yang mengerikan ini ke seluruh pulau. Tetapi dari data-data periodik dan telegram yang dikirim ke Istanbul, ke Istana Mabeyn atau langsung ke Sultan Abdülhamit, tampaknya peristiwa itu merupakan sumber penting dari perkembangan selanjutnya. Gubernur Pasha tidak pernah berhasil dikritik, disalahkan, atau dianggap melakukan kejahatan sebagai tanggung jawabnya dalam peristiwa bersejarah ini. Dia menunggu hukuman dari sultan, tetapi tidak pernah terjadi. Ketika dihadapkan dengan beragam kritik, Pasha mengatakan bahwa keputusan mengirim tentara ke karantina jamaah haji demi melindungi pulau dari wabah kolera sudah tepat, dia juga menambahkan bahwa kejadian itu tidak akan seturut hati nurani dengan membiarkan bandit membunuh prajurit dan menculik kapal negara (faktanya kapal itu disewa), tetapi dia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak memberikan perintah menembak para jamaah, dan kejadian itu semata karena kesalahan prajurit.

Mengenai kejadian ini, Pasha sudah memutuskan bahwa pertahanan terbaik adalah melupakannya. Untuk itu, dia memberikan perhatian khusus agar tidak ada surat kabar yang menurunkan berita dan itu berhasil dalam beberapa saat. Pada tahun pertama sang gubernur menuturkan bahwa mereka yang meninggal dalam perjalanan haji secara resmi disebut "syahid" sebagaimana dijelaskan dalam agama kita—ditempatkan dalam posisi tertinggi. Ketika keluarga korban jamaah haji mendatangi pusat kota untuk menuntut kompensasi, Pasha menjamu mereka di kantornya sembari membuka percakapan bahwa “para syahid mempunyai tempat yang indah di surga,” dan menambahkan “bahwa mereka yang menuntut kompensasi akan dikabulkan dengan segenap usaha, tetapi tolong jangan berbicara kepada wartawan Yunani”. Ini adalah pertama kali sang gubernur efektif menerapkan kompensasi yang diberikan oleh negara.

Mungkin tragedi itu sudah dilupakannya sehingga dalam sebuah wawancara yang disampaikan kepada surat kabar Yunani Neo Agnos dengan menggunakan ungkapan "para jamaah haji yang miskin" ketika menanggapi tentang para jamaah haji yang telah membangun fasilitas sumber air di desa mereka. Kata-kata tersebut tidak dipedulikan oleh siapa pun. Namun, di surat kabar Neo Agnos yang terbit hari itu, Manolis menulis dengan kembali membuka polemik bahwa para jamaah haji tidak miskin, tetapi sebaliknya, mereka adalah umat Muslim kaya di pulau yang dengan cara baru menjual hartanya untuk pergi haji, dan banyak dari mereka menderita sakit dan meninggal di tengah perjalanan. Tetapi bukankah akan lebih baik jika penduduk desa Muslim yang kaya berkumpul di pulau Minger di mana tingkat pendidikan mereka jauh lebih rendah daripada kaum Ortodoks, daripada terburu-buru menghamburkan uang di kapal-kapal Inggris dan di gurun nun jauh di sana, atau paling tidak memperbaiki menara-menara masjid yang rusak di lingkungan mereka?

Sebenarnya, mementingkan sekolah daripada masjid merupakan sikap "modern" yang dipercayai sang gubernur, tetapi ketika membaca artikel itu, dia merasa seperti mau tenggelam dalam kemarahan. Manolis juga gelisah hal ihwal sikapnya terhadap umat Muslim, tetapi alasan utamanya adalah membuka dan menghangatkan kembali topik "Pemberontakan Kapal Haji " yang sudah diharapkan terlupakan oleh gubernur.

Setelah kemunculan artikel pertama di atas, gubernur mulai memata-matai gerak-gerik jurnalis. Selesai membaca berita "tim disinfektan tidak dapat memasuki pondok", Pasha memanggil dua mata-mata terakhir yang sedang bertugas (satu penjual roti, dan yang lain adalah pedagang yang hilir mudik dengan pakaian bekas) dan mati-matian mencari informasi kepada orang-orang goblok ini tentang siapa yang menulis artikel untuk Manolis, setelah dia dijebloskan ke penjara, sehingga membuat gubernur kehilangan waktu untuk mengurus karantina. Apa yang dipelajari dari mata-mata itu membuat gubernur semakin khawatir: Ya, seluruh pulau sudah mendengar kabar tentang tim disinfektan yang ditolak syekh Hamdullah dan itu telah menjadi desas-desus yang meluas.

"Kenapa mereka tidak menguasai pondok?" tanya Pasha pada kedua mata-mata itu. Pertanyaan ini sudah ditanyakan kepada seorang penari yang mengobrol dengan Madam Marika, tetapi mata-mata si penjual roti itu tidak mengerti. "Saya tidak paham sama sekali, Yang Mulia Pasha!" jawabnya.

"Karena syekh Hamdullah juga wabah," celetuk mata-mata berpakaian bekas.

"Apa?" tanya Gubernur Pasha.

40 Novelis Terbaik dalam Sejarah Turki

00.58.00 1 Comment

Hasil kerja ini bisa menjadi pijakan sejarah, menciptakan dasar yang kuat bagi mereka yang mempertanyakan kanon sastra Turki kontemporer
[Orhan Pamuk dalam Salam Satu Acara Imza Gunu. Foto +Hari Pebriantok]

Majalah Sastra Notos Öykü Nomor 8 edisi Februari-Maret 2008 melakukan penelitian survei kepada pembaca dengan mencari 40 novelis dalam sejarah sastra Turki. Mereka yang terpilih adalah para penulis novel modern dan postmodern terbaik yang pernah dilahirkan oleh Turki. Hasil survei ini tentu sangat penting untuk melihat dan mengukur sejauh mana pengaruh dan kiprah para novelis melalui karya-karyanya dalam kehidupan nyata rakyat Turki. Hasil tersebut juga menjadi bahan diskusi lebih lanjut dalam khazanah sastra Turki mutakhir. Di samping itu, hasil kerja ini bisa menjadi pijakan sejarah, menciptakan dasar yang kuat bagi mereka yang mempertanyakan kanon sastra Turki kontemporer.

Proses survei yang dilakukan Notos adalah menyleksi novelis Turki terbaik satu abad terakhir yang bejumlah 135 menjadi 97. Dari 97 novelis kemudian dipilih menurut prosentase hingga mencapai 40 novelis. Proses penelitian survei ini dilakukan secara nasional.

Tiga besar novelis terbaik menurut survei Notos Öykü adalah Yaşar Kemal, Oğuz Atay dan Ahmet Hamdi Tanpınar. Yaşar Kemal mendapatkan suara 86%, Oğuz Atay 84,4% dan Tanpınar mendapatkan suara 77,8%. Sementara novelis Turki pertama yang mendapatkan hadiah Nobel Sastra Orhan Pamuk menduduki posisi keempat.

Berikut adalah daftar novelis terbaik Turki:

1. YAŞAR KEMAL
Karya terbaiknya: 
Tetralogi Novel İnce Memed (Memed Kecil)
Novel Ağri Dağı Efsanesi (Legenda Gunung Ararat)
Kumpulan Cerita Sarı Sıcak (Panas Membakar)
[Yaşar Kemal dan Gunter Grass]

2. OĞUZ ATAY
Karya terbaiknya:
Novel Tutunamayanlar (Yang Terberai)
Novel Tehlikeli Oyunlar (Permainan-Permainan Berbahaya)
Kumpulan Cerita Korkuyu Beklerken (Di Kala Menunggu Ketakutan)
[Oğuz Atay]

3. AHMET HAMDİ TANPINAR
Karya terbaiknya:
Novel  Huzur (Damai)
Novel Saatleri Ayarlama Enstitüsü (Institut Pengaturan Waktu)
[Ahmet Hamdi Tanpınar]

4. ORHAN PAMUK
Karya terbaiknya:
Novel Kara Kitap (Buku Hitam)
Novel Benim Adım Kırmızı (Namaku Merah)
Novel Kafamda bir Tuhaflık (Keganjilan dalam Pikiranku)
[Orhan Pamuk]

5. ORHAN KEMAL
Karya terbaik:
Novel Avare Yıllar (Tahun-Tahun Perkubangan)
Novel Bereketli Toprak Üzerine (Tentang Tanah yang Subur)
Kumpulan Cerita Ekmek Kavgası (Perkelahian Hidup)
[Orhan Kemal]

6. ADALET AĞAOĞLU
Karya terbaiknya:
Bir Düğün Gecesi (Sebuah Malam Pengantin)
Trilogi Dar Zamanlar (Masa-Masa Sempit)
Kumpulan Cerita Yeni Karşılaşmalar (Perjumpaan Baru)
[Adalet Ağaoğlu]

7. YUSUF ATILGAN
Karya terbaiknya:
Anayurt Öteli (Hotel Tanah Kelahiran)
Aylak Adam (Lekaki Terasing)
[Yusuf Altıgal]

8. HALİT ZİYA UŞAKLIGİL
Karya terbaiknya:
Aşk-ı Memnu (Cinta Terlarang)
Kırık Hayatlar (Hidup yang Hancur)
[Halit Ziya Uşaklıgil]

9. KEMAL TAHİR
Karya terbaiknya:
Devlet Ana (Negara Utama)
Yorgun Savaşçı (Prajurit yang Kelelahan)
Esir Şehrin İnsanları (Orang-Orang Kota Penjara)
[Kemal Tahir]

10. REŞAT NURİ GÜNTEKİN
Karya terbaiknya:
Çalıkuşu (Burung Penyanyi)
Yeşil Gece (Malam Hijau)
Yaprak Dökümü (Reruntuhan Daun)
[Reşat Nuri Güntekin]

11. YAKUP KADRİ KARAOSMANOĞLU
12. HASAN ALİ TOPTAŞ
13. LATİFE TEKİN
14. SABAHATTİN ALİ
15. SELİM İLERİ
16. İHSAN OKTAY ANAR
17. TAHSİN YÜCEL
18. SEVGİ SOYSAL
19. BİLGE KARASU
20. LEYLA ERBİL
21. PEYAMİ SAFA
22. VÜS’AT O. BENER
23. VEDAT TÜRKALİ
24. NAHİT SIRRI ÖRİK
25. HALİDE EDİP ADIVAR
26. FAKİR BAYKURT
27. FERİT EDGÜ
28. HÜSEYİN RAHMİ GÜRPINAR
29. OYA BAYDAR
30. FÜRUZAN
31. ABDÜLHAK ŞİNASİ HİSAR
32. REFİK HALİT KARAY
33. ATTİLÂ İLHAN
34. MEHMET RAUF
35. TARIK BUĞRA
36. ELİF ŞAFAK
37. MURAT UYURKULAK
38. AHMET MİTHAT
39. İNCİ ARAL
40. AZİZ NESİN

Ihwal nama-nama di atas dan karya-karya terbaik mereka akan kami hadirkan dalam seri tulisan selanjutnya di Turkish Spirits.


<ts/bjeben>
(Sumber tulisan dari Majalah Sastra Notos)

Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku

00.35.00 Add Comment

Yazıyor musun? Bari o kadar çok sigara içme!Zaten lüzumsuz bir iş yapıyorsun. Hiç değilse başka yönden zarar görme![i]

[Bosphorus, Orhan Pamuk di Rumahnya Istanbul]
Nyaris sebuah rutinitas sekitar tengah malam, pintu kamar dibuka dan suara itu pun terdengar dari seorang yang sangat akrab dalam hidupnya: seorang ibu yang tinggal bersamanya di sebuah apartmen pribadi bernama Pamuk Apartmanı di Nişantaşı, Beyoğlu, Istanbul. Di rumah itu Orhan Pamuk memulai karirnya sebagai penulis dengan bekal warisan buku-buku dari keluarganya, khususnya dari sang Ayah yang telah mengoleksi ribuan buku di perpustakaan pribadi, buku-buku yang dibeli bersama kakaknya Şevket Pamuk di masa-masa mereka remaja, dan tentu sekopor buku misterius dari ayahnya yang baru dibukanya (karena wasiatnya sendiri agar dibaca) setelah dia meninggal tahun 2002!

Kali ini saya ingin mengintip pergumulan Pamuk dengan buku dari hal-hal yang luput dicatat oleh khalayak. Sungguh akan unik menapaktilasi masa-masa Pamuk muda, suatu fase ketika dirinya berada dalam persimpangan pilihan hidup—antara tuntutan keluarga dan passion yang menjalar bebas dalam dirinya. Masa-masa muda inilah, menurut saya, menjadi turning point yang akhirnya menentukan masa depan dan kesuksesan demi kesuksesan yang diraihnya hari ini. 

Untuk itu, Pamuk jangan dilihat melulu hari ini sebagai peraih hadiah-hadiah bergengsi seperti Nobel PrizeInternational IMPAC Dublin Literary AwardPrix France Cultur, Sonning PrizeOrhan Kemal Novel Prize, Aydın Doğan Prize dan sederetan anugerah yang telah mencatatkan namanya dalam tinta emas sejarah sastra dunia. Mari bersama-sama menjelajahi jejak-jejak kecemasan, melankolis dan kekhawatiran pada dirinya, yang kemudian terselamatkan karena buku!

Bila harus jujur—sekedar mengingat seorang penulis dunia ihwal kegialaannya kepada buku—Orhan Pamuk memang belum (dan mungkin tidak) segigih Jorge Luis Borges ihwal pengabdiannya kepada dunia keperpustakaan yang ditunjukkan secara heroik hingga akhir hayatnya, bahkan secara tersirat Borges ingin melanjutkan hidup di Surga yang dibayanginya seperti perpustakaan. Tetapi keduanya mempunyai jalan sendiri-sendiri yang pada akhirnya bertemu pada satu titik: bergumul di dunia literasi.

Pamuk kecil tumbuh dari keluarga pecinta buku, khususnya sang ayah. Imajinasi, kreativitas dan kebebasan tumbuh di sana. Meski ia belum sanggup menghabiskan buku-buku koleksi ayahnya—yang berjumlah lebih dari 1500 itu—setidaknya Pamuk muda sudah terbiasa dengan dunia bacaan, yang mulai ditekuni secara lebih serius pada usia belasan tahun akhir. Perpustakaan pertama bagi Pamuk adalah koleksi pustaka pribadi ayahnya. Ketika ada waktu liburan baik dalam atau luar negeri, toko buku menjadi salah satu tempat yang mereka kunjungi, di samping sang ayah biasa menambah koleksi buku-bukunya dari toko bekas bekas di Istanbul.
[Tulisan tangan Orhan Pamuk]
Persentuhan pertama Pamuk kecil dengan buku dan mimpi menjadi penulis tersemai di Ankara. Pada suatu kesempatan bersama ibu dan kakaknya, Pamuk dihantar belanja buku yang pada waktu bersamaan ada acara imza günü (hari tanda tangan) bersama Aziz Nesin, penulis produktif dan penerjemah novel kontroversial Salman Rushdie Satanic Verses yang nyaris menjadi korban dalam tragedi demonstrasi ribuan orang yang berujung pembakaran sebuah hotel yang ditempati acara dari kelompok paham Alavi di Sivas pada 2 Juli 1993. Saat itu Pamuk masih berusia 8 tahun. Di antara kerumunan orang-orang yang antri menunggu tanda tangan, Pamuk kecil berkhayal: İleride ben de bir yazar olacaktım (saya juga akan menjadi penulis di masa depan) (Öteki Renkler, hal. 197). Dan mimpi itu telah menjadi kenyataan. Dalam 15 tahun terakhir, keberadaan Pamuk ditunggu dan goresan tanda tangannya diburu oleh para penggemarnya—sampai ribuan orang mengantre!

Dalam literatur dan dokumen-dokumen wawancara bersama Pamuk, sependek yang saya baca, momentum di Ankara bisa ditandai sebagai mimpi pertama menjadi penulis yang dititahkan oleh dirinya. Pamuk remaja tumbuh dalam kultur dan ideologi Eropa dengan gelimang imajinasi yang tumpah-ruah di antara kubangan buku-buku. Proyek modernitas dan westernisasi yang menjadi tulang punggung didirikannya Republik Turki melebur dalam keluarga Pamuk: mengisi liburan ke Prancis bersama ayahnya, rokok dan rakı (arak lokal) menjadi salah satu gaya hidup, dan keluarga mereka pun dijalankan dalam kebebasan. Tetapi tentu dengan satu pattern yang sudah tertanam kuat dan harus dicapai: kesuksesan! Apapun profesi yang dipilih, kesuksesan materi adalah tujuan utama yang tergambar jelas dalam keluarga mereka.

Sementara itu, tujuan hidup Pamuk adalah untuk bahagia, dengan ataupun tanpa materi! Maka jalan menulis, yang kata ibunya tidak akan dibeli dan dibaca di Turki, ditempuh Pamuk dengan segala risikonya.
[Orhan Pamuk ketika Wajib Meliter]
Persentuhan kedua Pamuk muda dengan buku di usia 17-18. Tahun-tahun ini, di masa-masa awal menuju kuliah, ia mulai lebih serius menggeluti buku-buku ayahnya. Semua koleksi buku-buku puisi Turki yang ada dalam perpustakaan pribadi itu dilahap habis. Pada usia 18 Pamuk pertama kali memuplikasikan puisinya di sebuah buletin sastra bernama Yeditepe yang pada rentang tahun 1950-1984 getol memberi ruang kreativitas bagi para sastrawan muda di Turki. Buletin sastra yang bernafas pendek itu diasuh oleh wartawan, penulis dan pengelola penerbitan bernama Mehmet Hüsamettin Bozok (1916-2008).

Pada fase ini, Pamuk lalu bermimpi menjadi penyair dan keinginan menjadi penulis yang sempat tercecap 10 tahun silam pun kembali lahir. Tapi jangan lupa, Pamuk juga mempunyai mimpi lain yang tumbuh bersama kesukaannya menggambar sejak di sekolah dasar: menjadi pelukis! Sebenarnya, obsesi menjadi pelukislah yang paling mendominasi pikiran Pamuk muda, dari usia 7 hingga 22, dan bahkan ia sempat punya studio kecil untuk ekspresi melukisnya. Atau lebih tepatnya, mimpi menjadi pelukis yang sekaligus penyair!

Dalam rentang usia sebelum 22, mimpi menjadi penyair atau pelukis tak lebih dari sekedar letupan-letupan kecil tapi menggebu-gebu. Apakah menjadi pelukis atau penyair? Dua-duanya gagal. Di tengah kecemasan pilihan kreativitas anak muda seusianya, ada satu garis besar yang tidak pernah jauh dari dirinya: mencintai seni sebagai jalan menemukan kebahagiaan!

Lagi, sebelum usia 22 Pamuk berada dalam ambiguitas pilihan kreativitas ihwal dunia seni. Tetapi mujurnya, di tengah pemberontakan-pemberontakan untuk mencari kebahagiaan melalui karya seni, Pamuk tetap getol bergumul dengan buku-buku. Dalam sitauasi seperti itu, hanya seorang ibu yang selalu menjadi teman bicaranya, tak segan-segan berdebat denganya. Misalnya, ia secara terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya pada jurusan kuliah yang tengah diambilnya (mimarlık/arsitektur) dan sejak tahun kedua ia mulai meninggalkan pelajaran, sebelum akhirnya benar-benar ditinggalkannya pada tahun ketiga.

Sementara ayahnya sering tidak berada di rumah—entah kerja di luar kota, di luar negeri atau sekedar liburan. Ketika liburan di Paris, Pamuk kerap diceritain oleh ayahnya bahwa dirinya pernah melihat Jean-Paul Sartre dari jauh, yang akhir-akhir ini Pamuk paham sendiri—khususnya setelah membuka kopor misterius berisi manuskrip—bahwa ayahnya juga bermimpi menjadi seorang penulis. Tetapi sayangnya, sang ayah gagal menjadi penulis. Karena ayahnya, kata Pamuk, is a troubled optimism, scarred by the anger of being consigned to the margins, of being left outside. Sementara itu, menjadi penulis harus siap menghadapi semua ini: berhasil ataupun gagal!
[Orhan Pamuk Hobi Renang]
Persentuhan ketiga Pamuk muda dengan buku dimulai sejak usia 22, tahun 1974. Usia tersebut menjadi tolak ukur bagi pergumulan kreativitasnya dan paling banyak disebut oleh khalayak; sebuah fase revolusioner. Saat itu Pamuk memilih cara mengisolasi dirinya dalam kesunyian kamar dan buku-buku koleksi ayahnya dengan tekad menjadi penulis. Orientasi Pamuk terhujam pada satu bingkai filosofis: hidup mencari kebahagiaan dan seni-sastra adalah jalan yang harus ditempuhnya. Untuk itu, di tengah ‘intimidasi’ keluarga yang mengkhawatirkan masa depannya Pamuk mengurung diri dalam kamar. İa tidak sendiri. Tumpukan buku-buku adalah teman setia yang menghiburnya. Di kamar itu ada meja dan kursi dekat jendela, tumpukan kertas dan pena untuk menulis. Pamuk suka melihat sinar matahari masuk kamarnya dan membentuk silhuet karena dari situ imajinasinya terus hidup. Rokok, kopi, sekali-kali rakı dan juga omelan sang ibu menyertai hari-hari berat dan keputusasaan yang kadangkala datang mengancam dan menggoyahkan pikirannya selama 8 tahun. Ya, selama 8 tahun Pamuk berkubang sunyi dengan buku-buku di kamarnya, sembari mulai menulis novel perdananya, Cevdet Bey ve Oğulları (Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya).

Selama 8 tahun inilah Pamuk menjadi kutu buku. Ia melahap habis karya-karya sastra koleksi ayahnya yang disebutnya sebagai perpustakaan pertama baginya; bergumul secara intens dengan para sastrawan baik dari Turki ataupun luar negeri. Karya-karya sastrawan Turki terkemuka seperti Yahya Kemal, Kemal Tahir, Oğuz Atay, Ahmet Hamdi Tanpınar, Orhan Kemal, Yaşar Kemal, Nazım Hikmet, Aziz Nesin, Kemalettin Tuğcu dan Fethi Naci ditimpas habis. Bahkan pun karya Jalaluddin Rumi, Nizami, Ibn Arabi dan Imam Al-Ghazali menjadi santapan liar seorang gila-buku yang memenjarakan diri dalam kamarnya sendiri.
[Orhan Pamuk dan Kiran Desai, novelis India]
Di samping itu, Pamuk makin kesetanan menenggak saripati karya-karya sastrawan dunia yang kemudian banyak mempengaruhi karya-karyanya. Sebutlah seperti Gabriel García Márquez, Julio Cortázar, Jorge Luis Borges, William Faulkner, Thomas Mann, James Joyce, Albert Camus, Virginia Woolf, Joseph Conrad, Stendhal, Dante Alighieri, Jean-Paul Sartre, Guillermo Cabrera Infante, Salman Rushdie, Victor Hugo, Milan Kundera, Philip Larkin, Gunter Grass, Patricia Highsmith, Mario Vargas Llosa, Thomas Bernhard dan penulis-penulis dari Rusia seperti Leo Tolstoy dan Fyodor Dostoyevsky. Barangkali karya-karya dari nama besar di atas tidak semuanya Pamuk baca dari koleksi ayahnya selama 8 tahun mengurung, tetapi saya tidak terkejut ketika melihat sendiri jejak-jekak gairah penerjemahan buku-buku sastra dunia yang marak di Turki sejak tahun 1950-an. Di Turki Anda akan sangat mudah mendapati buku-buku terjemahan langsung dari bahasa pertama seperti Persia, Rusia, Jerman, Prancis, Italia, Portugis, Arab, dll. tanpa harus menunggu versi kedua dari bahasa Inggris, seperti biasa terjadi dalam dunia perbukuan kita di Indonesia hingga hari ini.
[Rumah Orhan Pamuk di Pulau Heybeli, Istanbul]
Sampai di sini saya ingin berbisik kepada pembaca yang budiman bahwa Pamuk mengurung diri dalam kamarnya selama 8 tahun adalah jalan wahyu sebagai novelis. Selama masa inkubasi tersebut, ia adalah seorang yang kesepian, memilih jalan kesunyian. Ia tidak suka keramaian—apalagi orang-orang yang tidak dikenal, makanan mewah saat liburan lebaran, kantor-kantor dan orang-orang yang terlalu serius. “Turun gunung” setelah 8 tahun, di usianya ke-30, Pamuk pun menerbitkan novel perdananya, setelah selama 2 tahun ia harus pontang-panting mencari penerbit. Akhirnya tahun 1982 Penerbit Karacan bersedia menerbitkan novel sebetal 641 halaman, Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya (ditulis rentang tahun 1974-78).

Untuk membaca sejarah Pamuk secara lebih detail saya rekomendasikan buku-buku karangannya sendiri seperti Istanbul: Hatıralar ve Şehir (Istanbul: Kenangan dan Kota), Öteki Renkler: Seçme Yazılar ve Bir Hikaye (Warna-Warna Lain: Sebuah Cerita dan Pilihan Tulisan), Manzaradan Parçalar: Hayat, Sokaklar, Edebiyat (Fragmen-Fragmen Panorama: Kehidupan, Jalanan, Sastra), Saf ve Düşünceli Romancı (Novelis Naif dan Sintimentil)Babamın Bavulu (Kopor Ayahku), dan bahkan beberapa novel yang secara tersirat merekam jejak hidupnya sendiri, misalnya Cevdet Bey ve Oğulları (Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya), Sessiz Ev (Rumah Sunyi) dan Masumiyet Müzesi (Museum Kepolosan).

Akhirnya, bagi yang ingin memilih menjadi penulis, seperti pesan Pamuk, keberanian tidak cukup, tetapi ia harus terlunta-lunta dalam kesunyian. Dan Pamuk menemukan kebahagiaan saat-saat seperti itu, saat di mana ia menciptakan dunia lewat kata-kata yang ditulisnya. Karena baginya, menulis adalah balas dendam bagi kehidupan yang tidak pernah terjadi!                                                              
Turki, 17 Agustus 2015

[i] “Apa kamu sedang menulis? Jangan merokok sebanyak itu sekaligus. Kamu sudah mengerjakan sesuatu yang tidak penting, setidaknya jangan tambah lagi penderitaanmu!”

Catatan:

Tulisan di atas bersumber dari buku:
1.      Istanbul: Kenangan dan Kota (Cet. 12/ 2014),
2.      Warna-Warna Lain: Sebuah Cerita dan Pilihan Tulisan (Cet. 1, 2013),
3.      Fragmen-Fragmen Panorama: Kehidupan, Jalanan, Sastra (Cet. 2, 2010),
4.      Novelis Naif dan Sintimentil (Cet. 1, 2011),
5.      Kopor Ayahku (Pidato Hadiah Nobel),
6.      Beberapa artikel dan wawancara terpisah di media-media lokal di Turki.

Versi lain dimuat di Pindai

Bernando J. Sujibto
Penulis dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki dan penikmat karya-karya Orhan Pamuk.Twitter @_bje.

40 Cerpenis Terbaik Turki dalam Seabad

19.16.00 Add Comment

"Dalam tiga besar pertama, sebanyak 91 persen responden menyebutkan nama cerpenis Sait Faik Ali."


Sait Faik Abasıyanık


Majalah Sastra Notos dalam salah satu edisinya kembali melakukan survei untuk kesusastraan Turki dengan menghadrikan 40 Cerpenis Terbaik Turki dalam Seabad. Pada edisi Februari-Maret 2010, majalah Notos melakukan survei dengan teknik yang sama seperti sebelumnya dengan menjaring 205 nama cerpenis terkemuka Tirki dan dipilih menjadi 167, sebelum kemudian mengkerucut menadi 60. Dalam tiga besar pertama, sebanyak 91 persen responden menyebutkan nama cerpenis Sait Faik Ali, kemudian nama cerpenis Sabahattin Ali mendapatkan 55 persen. Di tempat ketiga ditempati oleh Tomris Uyar.

Berikut adalah daftar lengkap cerpenis 40 Cerpenis Terbaik Turki dalam Seabad:        

Sait Faik Abasıyanık
Sabahattin Ali
Tomris Uyar
Bİlge Karasu
Vüs’at O. Bener
Füruzan
Cemil Kavukçu
Leyla Erbİl
Memduh Şevket Esendal
Orhan Kemal
Haldun Taner
Sevim Burak
Ferit Edgü
Nezihe Meriç
Oğuz Atay
Murathan Mungan
Onat Kutlar
Ömer Seyfettİn
Ayfer Tunç
Aziz Nesin
Selim İleri
Hulki Aktunç
Tarık Dursun K.
Ahmet Hamdi Tanpınar
Sevgi Soysal
Tahsİn Yücel
Erdal Öz
Faruk Duman
Oktay Akbal
Refik Halit Karay
Orhan Duru
Yusuf Atılgan
Necati Cumalı
Adalet Ağaoğlu
Cevat Şakir Kabaağaçlı
Tezer Özlü
Necati Tosuner
Osman Şahin
Sema Kaygusuz
Demir Özlü

<ts/bjeben>
(Tulisan ini diadaptasi dari berbagai sumber khususnya Majalah Notos)