Tampilkan postingan dengan label Wacana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wacana. Tampilkan semua postingan

Kultus Militer dan Bumbu Nasionalisme

18.28.00 Add Comment

Puluhan ribu rakyat sipil membacakan takbir dan doa sembari menyemut sejak di rumah alhamrhum di Emek Mahallesi, kabupaten Safranbolu

[Rakyat Turki ikut menyalati dan mendoakan seorang tentara. Foto Yeniakit]
Mungkin saya berlebihan jika mengatakan bahwa rakyat Turki adalah rakyat paling mencintai tentara dan angkatan perang di antara negara-negara lain di dunia. Ada aspek-aspek lain yang sangat sulit ditemukan di balik pertontonan dukungan dan kecintaan mereka terhadap angkatan perang. Selain Turki, tentu saja ada Amerika yang sama-sama sangat menghargai dan mencintai pasukan militer mereka. Khususnya setelah misinya berhasil pada Perang Dingin—dengan sendirinya kembali mengangkat moral tentara setelah gagal di Perang Vietnam—tentara Amerika menjadi kebanggaan seluruh rakyatnya dan dianggap sebagai generasi terbaik yang mengendalikan kekuatan dunia. Setelah itu, karena faktor kekuatan yang membanggakan, tentara Amerika menjadi “tentara dunia” yang bisa datang kapan saja dan mengintervensi negara-negara lain dengan sangat mudah.

Namun begitu saya sadar bahwa pembuktian dan parameter di balik kecintaan rakyat terhadap mereka tentu membutuhkan data valid dan ukuran-ukuran yang rigid sebelum menjadi klaim. Tetapi dalam kesempatan kali ini, saya ingin menunjukkan sebuah peristiwa yang menggambarkan antusiasme rakyat Turki ketika menyalati dan mengantar seorang tentara yang meninggal dalam perang di Afrin, Suriah. Antusiasme rakyat Turki terlibat dalam prosesi ritual agama hingga seremoni resmi kenegaraan adalah potret unik yang tidak bisa ditemukan di negara lain, baik dalam aspek jumlah maupun gairah dukungan yang berlimpah.

Memang, Turki secara kekuatan militer jauh di bawah negara-negara seperti Amerika, Rusia dan China (dengan anggaran dana untuk militer yang fantastis), tetapi moral bangsanya yang mewujud dalam komitmen dukungan dan partisipasi kepada militer telah ditunjukkan dalam setiap laku keseharian. Jangan terkejut jika kita mendapati banyak rakyat Turki menyatakan siap menjadi pasukan sukarelawan yang kapan saja bisa dilatih dan ikut misi perang. Jika dilacak lebih jauh, faktor adanya wajib militer (askerlik) yang terus dijalankan hingga sekarang (khusus untuk laki-laki) bisa menjadi basis lahirnya kesadaran dan komitmen nyata dari segenap lapiran masyarakat Turki. Inilah yang saya sebut sebagai keunikan, hal-hal lain di balik kecintaan, di mana logika maupun premis-premis ilmiah mandul.

Namanya Ömer Bilal Akpınar, pejabat infanteri senior berpangkat sersan dari angkatan bersejata Turki yang meninggal pada 8 Februari 2018. Ada dua hal yang sangat menyentuh hati dan emosi mayoritas rakyat Turki dari sosok yang mengabdikan hidupnya untuk membela negara dan bangsa itu. Pertama tentu saja jumlah rakyat yang ikut menyalati, mendoakan dan hingga mengantarkannya ke liang lahat. Seperti dilaporkan oleh media-media lokal Turki termasuk Yeniakit, puluhan ribu rakyat sipil membacakan takbir dan doa sembari menyemut sejak di rumah alhamrhum di Emek Mahallesi, kabupaten Safranbolu. Setelah itu, janzahnya dibawa ke pusat kota Karabük (Karabük kent meydani) dan dilakukan upacara pelepasan di Karabük Valiliği (Karabük’te şehidi, alana sığmayan on binler uğurladı, 08/02/2018).

Kedua adalah surat wasiat yang ditulisnya sendiri. Surat wasiat adalah bagian dari ritual para tentara sebelum berangkat tugas dan mengangkat senjata. Ketika menjalankan tugas mereka hanya mempunyai dua kemungkinan: kembali pulang atau meninggal di pertempuran. Ömer Bilal menjadi salah satu dari mereka yang menulis surat wasiat dan membuat rakyat Turki tersedak. Tulisnya, “Saudaraku, perang ini adalah perang salib, melawan dengan iman, antara kebenaran dan kebatilan, kekufuran dan tauhid… jagalah keluargaku. Kuburkan aku di Safranbolu, Saudaraku.” Dalam hal mengocok emosi dan memperdalam rasa empati, surat wasiat menjadi salah satu media yang bisa dipakai oleh para tentara sebelum berangkat perang.

Bagi Turki, surat wasiat bukan melulu urusan personal yang, misalnya permintaan maaf kepada semua kerabat, kerap kali dimunculkan secara mendalam. Ia juga dipentaskan menjadi narasi heroik bagi nasionalisme, menyajikan sebuah sosok yang hadir di tengah-tengah emosi publik demi melindungi bangsa dan negara dari ancaman. Wasiat dengan narasi begitu akhirnya menjadi milik bersama semua rakyat Turki karena sentimen membela negara dan bangsa (juga agama meski tidak selalu masif) telah menjadi keyakinan dirinya berkorban demi negeri (vatana kurban). Dengan begitu, nasionalisme dan patriotisme muncul dan terasah secara terus-menerus.

Selain Ömer Bilal, dalam laporan www.haberler.com ada Hüseyin Şahin dari provinsi Samsun yang proses sebelum pemakamannya juga dihadiri oleh ribuan orang dan bahkan diklaim hingga mencapai jumlah sekitar (Samsunlu Şehidi 10 Bin Kişi Son Yolculuğuna Uğurladı, 11/02/2018); Nurullah Seçen dari kabupaten Ereğli, Konya juga dilaporkan bahwa rakyat yang hadir di hari pelepasan mencapai puluhan ribu; dan terakhir, seperti dilaporkan oleh ensonhaber.com terjadi pada sosok tentara Ahmet Aktepe yang berasal dari Erzurum dengan dihadiri ribuan pelayat yang ikut menyolati dan mendoakannya (Afrin şehitleri son yolculuğuna uğurlandı, 06/02/2018).

Saya tidak bisa menyebutkan satu per satu acara pelepasan untuk para tentara yang gugur di Afrin selama operasi militer Turki yang sudah berjalan lebih dari 23 hari hingga 12 Februari 2018. Jumlah tentara Turki yang gugur selama ini sudah lebih dari 100 personal dan melumpuhkan lebih dari 1480 teroris dari pihak musuh. Tapi saya bisa memastikan bahwa dalam situasi rumit seperti ini—di mana Turki berada dalam ancaman yang cukup serius di tengah absennya otoritas pemerintahan Suriah di bagian utara negara itu dan dinilai Turki akan menjadi tempat infiltrasi gerakan teroris yang mengancam negara—rakyat Turki hadir secara nyata memberikan dukungan dan menyampaikan terima kasih kepada para pejuang negara.

Sebelum lebih jauh, saya ingin memastikan bahwa jumlah angka yang tertera dalam pemberitaan di atas tidak bisa diverifikasi secara pasti. Tetapi secara gamblang kita bisa melihat gambar-gambar dan video yang menunjukkan partisipasi rakyat dalam keramaian yang sangat sesak seperti itu, misalnya keramaian masif di Karabük. Meksipun jumlah yang hadir tidak bisa dihitung secara pasti, antusiasme rakyat Turki dengan menghadiri proesesi sebelum pemakaman harus dilihat sebagai gerakan kesadaran dan kepedulian atas nama bangsa dan negara. Artinya, solidaritas seperti itu tidak akan pernah muncul di tengah masyarakat yang kehilangan wawasan dan orientasi nasional, apalagi di negara-negara yang mempunyai konflik dan kekerasan antarmasyarakat dalam situasi terpolarisasi secara maksimal.

Mereka yang hadir di tengah-tengah pelepasan para şehit (syahid), istilah yang dipakai oleh orang Turki untuk menyebut mereka yang gugur membela negara, adalah rakyat jelata yang terpanggil secara tulus menyampaikan belasungkawa dan empati yang mendalam sebagai bangsa dan warga negara. Meski tidak sedikit yang beroposisi terhadap pemerintahan dan menunjukkan penentangan atas kebijakan-kebijakan yang dimabil Presiden Recep Tayyip Erdoğan, rakyat Turki tidak bisa beroposisi melawan tentara mereka. Rakyat Turki menitipkan amanah kesatuan negara dan kedamaian internal bangsa kepada militer yang bertugas baik di perbatasan maupun di daerah-daerah yang menjadi sarang konflik di Turki.

Dalam banyak kasus, sebagai negara yang mempunyai tradisi militeristik yang kuat, masyarakat Turki mempunyai kebanggaan tersendiri tehadap militer dan angkatan perang mereka. Tetapi bukan berarti bahwa semua anggota militer menjadi panutan ataupun sumber kebanggaan. Banyak rakyat Turki juga tidak menghendaki kekuatan militer yang justru masuk ke relung-relung kekuasaan, misalnya dengan dalih menjaga konstitusi, tetapi dalam praktiknya justru dipakai oleh para jenderal dan orang-orang internal militer untuk menguasasi negara, misalnya lewat kudeta militer yang sudah biasa terjadi di Turki sejak tahun 1960.

Singkatnya, masyarakat Turki mencintai tentara dan personel pasukan militer yang jelas-jelas berjibaku dengan tugasnya yang secara fisik bisa mereka lihat. Rasa cinta tersebut kemudian diekspresikan khususnya ketika di antara mereka ada yang gugur di medan perang. Situasi seperti itu kerap kali menciptakan narasi heorik yang diproduksi secara masif oleh media dan pada gilirannya akan menjadi bumbu bagi nasionalisme rakyat Turki.

Nasionalisme

Kenapa rakyat Turki bergitu besar menunjukkan antusiasne dan dukungan terhadap pasukan militer, khususnya yang bertugas perang dan menumpas separatis? Pertanyaan seperti ini sebenarnya sudah lama menjadi bagian dari renungan dan pengamatan saya sendiri. Saya seringkali tertegun diam menyaksikan antusiasme rakyat Turki terhadap apapun yang menyangkut dengan perjuangan harga diri bangsa dan negara. Untuk menjawab pertanyaaan seperti itu saya coba masuk ke tengah emosi rakyat dan memori bersama (collective memory) yang hidup dan bergeriat dalam laku keseharian mereka.

Terma nasionalisme khas Turki tentu saja bisa diketengahkan di sini sebagai faktor umum yang sudah terbentuk dan membentengi bagian terluar dari kehidupan bangsa. Jika diibaratkan sebuah benteng, nasionalisme bertugas melindungi warga negara Turki dari serangan dan ancaman musuh dari luar. Tetapi di sisi lain, nasionalisme Turki justru sangat embedded dan terinternalisasi dalam jiwa setiap warga, menjadi paradigma dan karakter kebangsaan di bawah republik Turki. Rancangan ideologis tentang Turki modern yang diproduksi oleh para ideolog Turki modern dan telah meletakkan fondasi nasionalisme seperti Namık Kemal (1940-1888), Ziya Gökalp (1876-1924), Ahmed Agaoğlu (1869-1939) dan Yusuf Akçura (1876-1935) tetap bertahan hingga nyaris satu abad. Nasionalisme Turki adalah proyek ideologi politik dan kebudayaan untuk meneguhkan eksistensi suku bangsa Turki (Turk sebagai suatu etnik), dalam semua aspeknya, yang nyaris sama seperti langkah Jepang dengan mengidentifikasi dasar-dasar gerakan nasionalisme mereka melalui kebudayaan (Nihonjinron).

Sebagai ideologi negara, nasionalisme bekerja sangat efektif dalam mengelola sentimen atas nama nation dan national. Dua ranah ini sangat penting bagi nasionalisme Turki dengan misalnya dibuatkan Undang-Undang Pasal 301 yang mengatur secara khusus tentang sentimen negatif terhadap nation dan national, salah satunya misalnya tentang insult Turkishness atau Turkish nation. Di bawah kekuasaan Tayyip Erdoğan lewat Partai Keadilan dan Pembangunan (APK) istilah Turkishness akhirnya diganti menjadi Turkish nation untuk mewadahi secara lebih luas bangsa dan warga negara Turki, tanpa melihat identitas etnik mereka. Pasal tersebut satu sisi sangat rawan menjadi alat pembungkaman, misalnya pernah menyasar ke novelis Orhan Pamuk. Tetapi di sisi lain, ia menjadi sangat efektif dalam proses ideologisasi nasionalisme dengan mengangkat sentimen bangsa.

Selain nasionalisme, saya melihat ada ancaman nasional (national threat) yang faktor penyatu bagi mereka. Di balik kegagahannya sebagai bangsa besar dan penakluk, Turki di waktu bersamaan adalah bangsa yang cukup vulnerable, yaitu bangsa yang selalu merasa dikepung dan diancam oleh para musuh. Saya memakai terma vulnerable bukan dalam makna etimologi, tetapi lebih kepada pemahaman terminologi untuk mewadahi perasaan masif dari sebuah bangsa yang merasa selalu ingin dipecah-belah, semacam reproduksi emosi dan mental yang kerap kali dideklarasikan oleh kelompok ultranasionalis (kasus Turki) ataupun oleh militer sendiri (dalam kasus di Indonesia), dengan tujuan agar warga negara menyatukan langkah dan komitmen membela negara. Meski narasi ini tidak bisa diklaim sebagai memori kolektif yang menyasar secara massal, perasaan rentan akan perpecahan (karıştırmak) menjadi narasi yang cukup mudah ditemui di tengah-tengah rakyat.

Untuk itu, rakyat Turki sangat taktis dan efektif dalam hal mengenali siapa musuh-musuh mereka dan narasi tentang musuh yang harus diwaspadai karena berpotensi mengganggu tetap dikelola oleh penguasa sebagai upaya polulis untuk mendapatkan legitimasi di tengah publik. Akhirnya, rakyat Turki dengan cukup mudah dapat mengidentifikasi musuh-musuh mereka, misalnya Armenia, Yunani, Rusia, Prancis, Inggris, Israel dan Amerika. Selain dua negara terakhir, rakyat Turki mengenang mereka sebagai musuh yang menyejarah. Sementara Israel dan  Amerika tidak lebih sebagai musuh yang lahir belakangan.

Musuh-musuh yang saya sebutkan di atas bukan lantas tidak menjalin hubungan kerja kedua negara. Mereka sangat terkait erat dengan memori dan ingatan sejarah bangsa Turki. Karena selain Armenia, Turki mempunyai hubungan bilateral dengan negara-negara di atas.

Di samping itu, organisasi yang berpotensi memecah-belah seperti PKK (Partai Pekerja Kurdistan), kelompok komunis dan organisasi yang berafiliasi dengannya, Al-Qaeda, Hizbut Tahrir dan ISIS adalah musuh nyata dalam internal  negara. Sementara dari luar negeri khususnya di perbatasan mereka, muncul nama organisasi seperti PYD/YPG (faksi militer Kurdi di Irak dan Suriah) yang menjadi target operasi militer Turki lewat operasi Ranting Zaitun (Zeytin Dali Harekati). Siapa pun yang berani berafiliasi dan mendukung kelompok di atas secara gamblang akan menjadi musuh bersama (common enemy) bagi rakyat Turki.

Dalam kondisi demikian, kepercayaan rakyat Turki hanya bersandar kepada pasukan keamanan, mulai dari polisi hingga angkatan bersenjata yang mereka miliki. Karena pasukan keamanan Turki selalu berjibaku dengan berbagai ancaman baik dari internal maupun eksternal dan rakyat Turki melihat dan merasakan secara nyata keberpihakan militer terhadap negara. Keterlibatan militer yang begitu dalam terhadap negara dan bahkan dunia politik sekalipun tidak bisa dilepaskan dari tradisi militer yang membentengi republik Turki. Khususnya sebelum AKP berkuasa, militer mempunyai kendali sangat besar terhadap negara yang secara gamblang bisa dilihat dari praktik-praktik kudeta yang sekaligus merontokkan demokrasi. Seperti dikutip M. Alfan Alfian dari M Naim Turfan dalam Looking After and Protecting the Republik: The Legitimation of The Military’s Authority in Turkey, militer diposisikan sebagai garda depan revolusi dengan hak untuk campur tangan dalam politik, jika kelangsungan negara dalam bahaya (Alfian, 2018: 33). Meski tentu saja bercorak otoritarian ketika intervensi militer terus membayangi negara, pertemuan sipil-militer dalam tingkat grass root cenderung menyisakan aspek-aspek emosional karena mereka dianggap sebagai benteng negara. Tetapi, ketika sudut pandang yang dipakai adalah relasi sipil-militer dalam konteks demokrasi, negara Turki tentu bukan model yang ideal, untuk tidak mengatakan buruk.

Dalam tulisan ini, saya tidak sedang membicarakan relasi sipil-militer dalam diskursus dan kajian demokrasi, tetapi lebih fokus ingin mengungkap sisi-sisi “pertemuan emosi” antarmereka yang sangat akrab, dekat dan penuh cinta! Kematian seorang tokoh politik sekalipun sangat susah untuk dihadiri oleh rakyat hingga di atas 10 ribu. Tetapi Ömer Bilal Akpınar, sebagai pasukan perang yang kesehariannya tidak terekspos secara berlebihan, mempunyai cerita lain dan, bagi saya, sangat beruntung karena telah berhasil menyedot perhatian dan cinta, setidaknya, dari masyarakat Karabük dan sekitarnya.

Pertemuan emosi antara sipil dan militer tentu saja tidak terbentuk secara gegabah dan serampangan. Bagi saya, semua itu adalah hasil dari kinerja ideologi pancasila dengan meletakkan posisi militer sebagai guardian terhadap negara dan bangsa. Yang awalnya diletakkan sebagai garda depan untuk menjaga republik (cumhuriyet bekçisi) yang sekuler, militer Turki di bawah Erdoğan semakin didekatkan kepada rakyat dan di waktu bersamaan rakyat sipil diperkuat pengetahuan demokrasinya. Sehingga akhirnya rakyat Turki menolak segala bentuk kudeta (darbeye hayır) yang secara gamblang dibuktikan lewat aksi turun ke jalan untuk melawan percobaan kudeta 15 Juli 2016.

Pertemuan emosi antara sipil-militer dan kehadiran solidaritas di antara rakyat sipil, bagi saya, disebabkan oleh situasi Turki terkini. Militer di Turki bekerja melawan maut yang secara langsung terlibat dalam misi perang ataupun operasi keamanan di perbatasan. Saya menyaksikan sendiri bahwa tentara dan pasukan keamanan Turki tidak pernah berada dalam situasi yang tenang dan nyaman. Lihat saja korban-korban tewas dari pihak militer Turki yang terus berguguran dari waktu ke waktu, dalam operasi yang dilakukan menumpas PKK di bagian tenggara dan timur. Sejak kelompok separatis itu aktif melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata sejak tahun 1980-an, sudah tidak terhitung jumlah pasukan keamanan Turki yang tewas dalam menjalankan tugasnya.

Untuk itu, solidaritas, empati dan bahkan emosi yang lahir di tengah situasi seperti itu adalah keniscayaan yang harus lahir di Turki. Saya percaya bahwa nasionalisme dan kecintaan rakyat Turki (atau bahkan kita semua) kepada aparat militer semakin menggebu-gebu di tengah situasi di mana negara dan bangsa berada dalam ancaman. Tetapi sebaliknya, jika aparat keamanan dan pasukan militer sekalipun hanya menggebuki rakyatnya sendiri karena melakukan demo mempertahankan tanahnya dari penggusuran misalnya, jangan berharap mendapatkan empati dan rasa cinta yang tulus dari rakyat. 


Bernando J. Sujibto
Penulis adalah peneliti sosial dan kebudayaan Turki. Alumni pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Follow Twitter @_bje.

Sejarah Bahasa Turki

17.54.00 Add Comment

"Periode 1928 terjadi revolusi bahasa dimana Pemerintah Turki saat itu yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Ataturk memutuskan untuk menghapus penggunaan huruf Utsmani dan menggantikannya dengan huruf latin"

(Alfabet Bahasa Usmani, Foto: http://www.risaleforum.com/)

Kuliah dimana?”
“Di Turki”
“Wah pinter Bahasa Arab dong…”
“Bahasa Arab??????”

Cuplikan percakapan tersebut mungkin beberapa kali bahkan sering terjadi kepada kita yang sedang menuntut ilmu atau merantau ke Turki. Tak bisa dipungkiri, masih banyak masyarakat di Indonesia yang membayangkan Turki sama dengan negara-negara yang ada dikawasan  Timur Tengah. Misalnya saja, banyak gurun, ada hewan Unta, ataupun wanita harus bercadar dan pintar berkomunikasi dengan bahasa Arab.

Ealah budhe, gimana bisa ngomong Bahasa Arab lha wong baca Al-Qur’an aja ga semua temen-temen Turkiku bisa, batinku saat berjumpa dengan orang baru.
Kalau anda masih bertanya, jadi dengan bahasa apa jawabannya sudah jelas dan pasti yaitu Bahasa Turki.

Lho memang ada Bahasa Turki? (makanya beli buku Turki yang Tak Kalian Kenal biar lebih tahu).
Secara rumpun, Bahasa Turki ini masih bersaudara dengan Bahasa Jepang dan Bahasa Korea. Ketiganya tergabung dalam rumpun Bahasa Altay. Kalau dilihat dari tata bahasanya banyak ditemukan persamaan terutama pada bagian mencantumkan banyak –akhiran.  Sebagai contoh,  dalam menunjukkan suatu kata yang mengandung arti jamak dalam Bahasa Turki setiap kata benda mendapatkan akhiran –lar atau –ler. Ingin tahu lebih banyak contoh Bahasa Turki? Bisa ditemukan di buku Turki Yang Tak Kalian Kenal.

Dahulu Turki Pernah Memakai Bahasa Arab

Fenomena tersebut pernah terjaadi  ketika Bangsa Turki masih menggunakan Bahasa Utsmani dengan huruf utsmani yang wujudnya dalam alfabet Arab.

Bahasa Turki lahir setelah melewati beberapa fase dalam sejarahnya. Bahasa Turki pertama (İlk Türkçesi) muncull di era kegelapan. Disebut era kegelapan karena tidak ada Bahasa Turkipada  masa itu terutama dalam bentuk tulisan tangan yang tersisa dan dijadikan sebagai bukti . Di era tersebut bahasa yang digunakan adalah Bahasa Altay yang kemudian menjadi cikal bakal Bahasa Turki, Bahasa Korea, Bahasa Jepang, Bahasa Mongolia, dsb. Sebelum terpisah menjadi beberapa bahasa, Bahasa Altay hanya dibedakan berdasarkan dialek yang terbagi menjadi dialek Yakutça dan Çuvaşça.

Masih di era kegelapan Bahasa Turki, muncullah Ana Türkçesi dimana bahasa yang digunakan mulai terlihat perbedaannya dengan Bahasa Altay dan terpisah dan pada akhirnya sebagai bahasa sendiri.
Fase berikutnya adalah lahirnya Eski Türkçesi atau Bahasa Turki kuno pada sekitar abad ke-6 sampai 13. Pada masa ini bisa dikatakan sebagai periode pertama munculnya dokumen tertulis berbahasa Turki. Salah satu bukti keberadaan bahasa turki kuno tersebut dapat ditemukan dalam prasasti Orhun. Teks-teks Turki Kuno dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :


Teks Göktürk : Merupakan teks yang ditulis oleh Bangsa Gokturk diatas batu pada tahun 552-754 M dengan huruf Gokturk yang dikembangkan sendiri oleh Gokturkler. Beberapa prasasti terkenal peninggalan Gokturk diantaranya adalah Kül Tigin, Bilge Kağan Vezir Tonyukuk, dan  Köktürk Yazıtları (Orhun Abideleri).

Teks Uygur : Merupakan peninggalan Bangsa Uygur yang tertulis baik diatas batu maupun kertas dengan pengaruh ajaran Budizm dan Maniheizm. Bahasa Uygur saat ini masih banyak digunakan oleh Bangsa Uygur yang tersebar di Asia Tengah termasuk Uyghur-Xianjiang di Cina.

Teks Karahanlı : Merupakan peninggalan Bangsa Karahan pada tahun  840-1212 M. Bangsa Karahan merupakan pendiri pertama pemerintah dengan pengaruh keislaman  (termasuk penulisan dalam huruf Arab dan menerjemahkan Al-Quran). Terdapat beberapa karya yang dapat ditemukan, diantaranya  Divân-ı Hikmet, Atabetü’l-Hakayık, Dîvânü Lûgati’t-Türk dan Kutadgu Bilig.

Pada abad ke-12 Bahasa Turki mulai menyebar baik ke wilayah barat maupun utara dengan berbagai budaya yang mulai berubah. Perubahan tersebut juga berpengaruh dengan penggunaan Bahasa Turki yang terbelah menjadi Bahasa Turki Barat dan Bahasa Turki Utara-Timur. Bahasa Turki Utara-Timur (Küzey-Doğu Türkçesi) mengalami perkembangan sampai akhirnya terlahir Kazak Türkçesi, Kırgız Türkçesi, Özbek Türkçesi, Uygur Türkçesi dan Tatar Türkçesi. Sedangkan Bahasa Turki Barat (Batı Türkçesi) mengalami beberapa kali revolusi sampai terlahir Bahasa Turki (Türkiye Türkçesi) yang sekarang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Turki.

Perkembangan Batı Türkçesi selanjutnya disebut Eski Anadolu Türkçesi yaitu Bahasa Turki yang digunakan oleh masyarakat Anatolia pada abad ke 13-15. Bahasa tersebut juga digunakan sebagai bahasa tulisan pada masa pemerintahan Selcuk, Utsmani dan penulisan dokumen resmi oleh instansi di kawasan Anatolia. Beberapa karya terbaik dengan Eski Anadolu Türkçesi diantaranya adalah Divanı (Yunus Emre), Nushiye (Risatetü), Mevlit’i (Süleyman Çelebi), Garipname (Aşık Paşa) , syair pujian dan sajak yang ditulis oleh Hoca Dehhani.

Lambat laun Bahasa Turki mendapatkan pengaruh dari Bahasa Arab dan Bahasa Persia sehingga pada abad ke 16-20 muncul Osmanli Türkçesi (Bahasa Turki Utsmani). Selain munculnya bahasa serapan, secara tata bahasa juga banyak mengalami perubahan yang berbeda dari bahasa sebelumnya (Eski Anadolu Türkçesi). Peninggalan Bahasa Utsmani masih banyak ditemukan sampai sekarang termasukdalam bentuk manuskrip Ottoman yang banyak dijadikan rujukan untuk mempelajari sejarah kekhalifan Utsmani.

Pada abad ke-19 muncul gerakan bahasa baru yang diprakarsai oleh Ömer Seyfettin dkk dengan terbitnya majalah Genç Kalemler. Penerbitan majalah tersebut bertujuan untuk melahirkan bahasa baru yang berasal dari bahasa lisan (Gaya Istanbul) dengan mengadopsi beberapa prinsip termasuk prinsip untuk menghapuskan pengaruh Bahasa Arab dan Bahasa Persia.

Sampai pada periode 1928 terjadi revolusi bahasa dimana Pemerintah Turki saat itu yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Ataturk memutuskan untuk menghapus penggunaan huruf Utsmani dan menggantikannya dengan huruf latin. Selanjutnya pada tahun 1932 terbentuklah Institut Bahasa Turki (Türk Dil Kurumu) yang bertugas untuk menyederhanakan Bahasa Turki lama dan mematangkan kelahiran Bahasa Turki baru sesuai dengan prinsip yang sudah ditetapkan pemerintah saat itu.

Setelah melalui perubahan dari beberapa periode, lahirlah Bahasa Turki (Türkiye Türkçesi) yang disambut sebagai periode Bahasa Turki modern.  Bahasa Turki modern inilah yang digunakan oleh masyarakat Turki sampai sekarang dan yang juga menjadi bahasa pengantar di sekolah atupun universitas di seluruh Turki.
(Alfabet Bahasa Turki, foto:/www.izlesene.com)

Selain Bahasa Turki yang digunakan oleh masyarakat Turki, didalam periode Bahasa Turki modern ini juga lahir Bahasa Turki baru yang digunakan oleh orang Azerbaijan (Azeri Türkçesi) dan orang Turkemenistan (Türkmen Türkçesi).  Meskipun tidak sama persis 100%, akan tetapi dari ketiga bahasa tersebut masih memiliki beberapa persamaan terutama dalam perbendaharaan kosakata yang terpengaruh dari bahasa terdahulu. Jadi jangan heran jika memiliki teman asing yang datang dari kedua negara tersebut bisa mempelajari Bahasa Turki lebih cepat daripada kawan-kawan dari negara-negara lain terutama Indonesia.



Semoga penjelasan diatas bisa memberikan pencerahan dan pengetahuan bahwa pelajar di Turki tidak semuanya bisa Bahasa Arab (dan tidak harus bisa) karena memang tidak menggunakan Bahasa Arab melainkan dengan Bahasa Turki baik di lingkungan sosial maupun akademik. 



Roida Hasna Afrilita
Tim redaksi Turkish Spirit, mahasiswi Jurusan Ilmu Pendidikan Bahasa Turki di Canakkale Onsekiz Mart Univeristesi, Canakkale Turki. Pelajar Indonesia asal Magelang Jawa Tengah ini memiliki minat pada konsep dan menejemen pendidikan dan pengajaran. Instagram @roidanana.

Misriani, Gelin Indonesia Pertama di Turki?

11.57.00 1 Comment

"Pertam kali, saya belalajar kata ‘Ben’ (saya), dan ‘Sen’ (kamu, anda). Saya berhasil menyesuaikan dan mempelajari dua kata ini."

[Ilustari. Foto: http://www.vogue.es/]
Sebagai negara yang memiliki sejarah dan peradaban besar, Turki selalu menjadi pilihan destinasi bagi para wisatawan. Salah satunya adalah para pelancong dari kawasan Asia, termasuk negara kita Indonesia. Seiring waktu, Turki bukan hanya dikenal sebagai tujuan wisata bagi Indonesia, tetapi menjadi salah satu negara yang cowok-cowoknya mulai digandrungi oleh sebagian gadis Indonesia. Di antara gadis-gadis yang dipersunting pria Turki, ada seorang ibu yang ditengarai sebagai perempuan pertama yang menikah dengan pria Turki. 

Pernyataan di atas tentu saja butuh diklarifikasi untuk memastikan data, tetapi berdasarkan kronik tahun, Ibu Misriani, wanita asal Banyuwangi, Jawa Timur, mungkin saja menjadi gelin (menentu perempuan) yang masuk generasi kids zaman old. Misriani pernah diwawancarai oleh salah satu media Turki Senoz Deresi tentang cerita hidupnya selama berada di Turki sejak tahun 1985. Berikut ini adalah terjemahan dari wawancaranya yang telah diterbitkan pada 16 Desember 2011.

Misriani lahir pada 22 Agustus 1968 di Banyuwangi adalah bungsu dari tiga bersaudara. İa menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian pada tahun 1985 ia tiba di Turki, saat itu usianya 17 tahun. Sebelumnya, Misriani bekerja di sebuah kapal dan bertemu dengan Ismail, pria berkewarganegaraan Turki yang berasal dari kota kecil Çayeli yang berada di Provinsi Rize—wılayah Laut Hıtam. Ringkas cerita, Ismail menikah dengan Misriani dan memulai kehidupan baru di Kota Çayeli. Sebagai seorang gelin—istilah yang digunakan untuk warga asing yang menikah dengan warga negara Turki, ia sudah lama sekali tidak mengunjungi İndonesia dan merasa sangat rindu dengan tana airnya. Meryem Şahin, jurnalis dari Senoz Deresi berjumpa langsung dengan Misriani dan berbincang tentang pengalamannya tinggal di Turki.

Meryem Şahin: Kita mulai dengan cerita tentang kedatangan anda dari Indonesia ke Çayeli. Bagaimana perjumpaan anda dengan suami?

Misriani: Nama suami saya, İsmail. Saat datang ke Indonesia, ia bermaksud untuk memulai bisnis. Di waktu itu, saya juga sedang mencari pekerjaan sebagai penerjemah. Dan awalnya, Ismail adalah teman dari paman saya. Sejak momen itu kami pertama kali bertemu satu sama lain.

Meryem Şahin: Bagaimana respon keluarga anda tentang pekerjaan tersebut? Karena untuk melepas seorang anak perempuan ke daerah yang jauh dari kampung halamannya bukanlah hal yang mudah. Apakah anda menikah dengan restu dari mereka?

Misriani: Sebenarnya saya tidak menyampaikan semua hal tentang ini (pekerjaan). Karena awalnya kakek saya berpikir tempat ini sangat jauh. Tetapi, akhirnya saya mendapatkan persetujuan tentang apa yang saya inginkan.

Meryem Şahin: Sepertinya itu adalah sebuah keputusan yang berani, penuh pertimbangan. Karena anda sama sekali tidak mengetahui bahasa dan budaya tempat yang anda kunjungi.

Misriani: Sebenarnya suami saya pernah berujar kepada saya bahwa kami akan tinggal di Indonesia,  begitu ujarnya. Ia mengatakan akan menata dan mengurus bisnisnya di sana (Indonesia). Saya pun menyetujuinya. Akan tetapi dalam waktu selanjutnya, hal tersebut tidak terjadi. Sampai dengan 15 hari setelah itu, kami memutuskan untuk ke Istanbul. Kemudian kami berangkat menuju ke Rize di kota Çayeli.

Meryem Şahin: Bagaimana pertama kali anda tiba di Turki? Apa saja pengalaman yang anda rasakan?

Misriani: Di Istanbul, saya pertama kali melihat secara langsung salju. Rasanya sangat aneh. Butuh  waktu bagi saya untuk menyesuaikannya. Kami berada di Istanbul selama dua hari. Setelah itu kami menuju ke kota Ankara, tepatnya ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk pengurusan izin tinggal di Turki. Akan tetapi, pihak KBRI tidak bisa memberikan izin tinggal kepada saya karena usia saya yang masih muda. “and tidak akan bisa mendapatkan izinnya”, dan menyampaikan bahwa saya akan dikembalikan ke Indonesia. Namun, saya tidak menolaknya.

Meryem Şahin: Bagaimana perasaan anda saat tiba di Rize? Bagaimana respon orang-orang di sana? Apakah ada kabar tentang kedatangan anda di Çayeli?

Mirsiani: Setelah tiba di Istanbul, suami saya, Ismail, mencari rumah. Setelah itu rampung, baru kami berkabar. Hari pertama tiba di Rize, saya menikmati sarapan (kahvaltı) khas Turki yang telah disiapkan. Akan tetapi, di kampung halaman saya di Indonesia, untuk sarapan kami biasanya mengonsumsi nasi dan lauk lainnya. Saat sarapan, bahkan saya tidak mengambil satu pun makanan. Dan itu sangat aneh bagi beberapa orang yang ada pada saat itu. “Hey, Ismail. Ia membawa beberapa buah biji kacang”. Dan dalam situasi tersebut, saya sama sekali tidak paham apa yang sedang dibicarakan. Hari pertama ke rumah (di Çayeli), “pengantin—orang asing, telah datang, begitu ujar beberapa orang”. Jalanan di sekitar tempat tinggal sangat ramai oleh warga yang datang. Mereka sangat penasaran dengan saya. Hari itu rasanya sangat berat dan tersulit yang pernah saya alami.

Meryem Şahin: Apakah anda melangsungkan pesta pernikahan?

Mirsiani: Tidak. Hanya menikah saja. Pesta pernikahan diselenggarakan ketika kembali lagi ke Turki. Di Indonesia, kami tidak bisa menikah secara resmi karena ada peraturan yang mengharuskan memiliki kartu identitas sebagai warga negara saat usia 18 tahun.  Saya membawa ijazah SMA ke sini (Turki). Saya mendapatkan passport dengan ijazah dan selanjutnya menikah. Namun, kami harus menunggu sampai satu tahun untuk pernikahannya.

Meryem Şahin: Ketika anda telah menjadi pengantin, apakah anda tinggal bersama kerabat anda?

Mirsiani: Iya. Kami sudah tujuh tahun tinggal bersama. Di Indonesia, kami memiliki keluarga besar. Dan ketika saya ke sini, saya merasa sangat kesepian. Pada enam bulan pertama, saya tinggal bersama suami, Ismail. Selanjutnya selama 13 bulan setelahnya Ia bekerja di kapal. Saya tidak akan pernah melupakan hari-hari saat tak bersamanya. Saya merasa seperti seorang anak yatim.

Meryem Şahin: Kapan persisnya anda memperoleh kewarganegaraan Turki?

Mirsiani: Dua tahun setelah saya di Turki.

Meryem Şahin: Berapa orang anda sekarang?

Mirsiani: Saya memiliki empat orang anak. Tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Anak laki-laki tertua namanya Bilal, kuliah di Yıldız Tehnical University jurusan teknik perkapalan. Ali dan Ahmet masih SMA. Dan yang terakhir, Meryem, masih kelas lima sekolah dasar (SD).

Meryem Şahin: Anda memiliki budaya dan jenis makanan yang sangat berbeda dengan Turki. Apakah sulit untuk beradaptasi dan menyesuaikannya?

Mirsiani: Di Indonesia kami lebih sering memasak nasi dan sayur. Ketika pertama kali tiba di sini, saya hanya memasak nasi dan mengambil beberapa sayur yang ada di kebun. Kemudian mengolahnya menjadi sayuran untuk dimakan.

Meryem Şahin: Apakah anda tahu cara memasak?

Mirsiani: Tidak. Semuanya saya pelajari di sini.

Meryem Şahin: Makanan apa yang pertama kali anda buat?

Mirsiani: Saya pertama kali belajar memasak dengan suami. Saat itu, ia memasak ‘mimci muhalama’ (makanan khas Rize). Pada hari selanjutnya, saya mencoba untuk membuat Mimci Muhalama. Hasilnya tidak terlalu bagus, namun suami memuji dan menyukai masakan saya. Hal itu membuat saya sangat bersemangat untuk terus belajar memasak. Dan saya mendapatkan dukungan dari suami.

Meryem Şahin: Apa hal tersulit yang anda jumpai di Rize?

Mirsiani: Di Indonesia, kami bercocok tanam padi dan jagung. Dan ketika saya di Rize, saya paham bagaimana caranya mengumpulkan daun Teh, bercocok tanam di kebun ataupun beternak sapi. Saya telah belajar dan mendapatkan Rahmat, petunjuk dari Allah SWT. Dan perlahan saya menyukai kegiatan bekebun.

Meryem Şahin: Apa hal teraneh yang anda jumpai di Rize?

Misriani: Di sini saya pertama kali menjumpai minuman yogurt yang dicampur dengan jeruk (orange). Di Indonesia, kami hana memproduksi susu sapi. Sebenarnya Yogurt adalah minuman yang sama sekali tidak saya ketahui. Butuh waktu untuk menyesuaikannya. Di sini, saya menjumpai rumah kayu yang sangat berbeda dengan tempat tinggal saya di Indonesia. Biasanya, kami hanya membuatnya dari Bambu. Inı disebabkan cuaca panas yang ada di Indonesia. Di sini, saya juga melihat cara orang berbicara dengan suara yang tinggi (kencang), itu juga yang sulit bagi saya. Kami terbiasa berbicara dengan suara yang lembut, tidak kencang. Saya terkejut dengan situasi yang saya hadapi ketika semua orang di sini berbicara sambil berteriak.

Meryem Şahin: Apa kata pertama yang anda pelajari?

Mirsiani: Pertam kali, saya belalajar kata ‘Ben’ (Saya), dan ‘Sen’ (Kamu, anda). Saya berhasil menyesuaikan dan mempelajari dua kata ini.

Meryem Şahin: Kapan anda belajar berbicara dengan bahasa Turki?

Mirsiani: Saya merampungkannya selama satu tahun. Saya tidak akan pernah melupakan Emine.Ia telah banyak mengajari bahasa Turki kepada saya. Dan saya berhutang budi kepadanya.

Meryem Şahin: Apakah anda masih bisa berbahasa Indonesia?

Misriani: Saya bisa katakan, saya telah lupa dengan bahasa ibu saya. Lebih banyak campur aduk dengan kata-kata dalam bahasa Turki. Mungkin karena sudah lama tidak mempraktikannya, akhirnya lupa.

Meryem Şahin: Apakah anda masih berkomunikasi dengan kerabat anda?

Misriani: kakek saya telah wafat. Saya mengetahuinya lewat surat yang disampaikan oleh paman dan bibi. Saya tidak tahu dimana kedua orangtua saya. Karena sejak kecil, saya juga tidak mengetahui keberadaannya. Di sini, saya menjumpai seseorang yang bekerja sebagai perawat. Namanya Faridah. Dan kami berjumpa di desa Yomra yang terletak di kota Trabzon.

Meryem Şahin: Apakah anda pernah berkunjung ke Indonesia lagi?

Misriani: Tidak. Saya tidak memiliki waktu untuk ke sana.

Meryem Şahin: Apakah anda ingin ke sana?

Misriani: saya ingin sekali ke Indonesia. Tetapi sangat tidak mungkin. Saya sangat rindu untuk berjumpa lagi dengan paman dan bibi. Juga melihat kebun dan tempat kelahiran saya.

Meryem Şahin: Jika dalam sebuah pertandingan antara Turki dengan Indonesia. Manakah yang akan menang?

Misriani: Tentu saja, Indonesia.

Catatan: Misriani tidak berkenan fotonya dipublikasi.

[Didid/Redaksi TS]



Ikhtisar Seputar Referendum Turki

20.26.00 Add Comment
Keyman mengatakan, masa depan demokrasi dan pemerintahan Turki sebenarnya tidak berdasar pada adopsi sistem presidensial atau parlementer, bukan pada perubahan sistem secara radikal, namun pada penguatan demokrasi yang berbasis pada perimbangan dan pengawasan antar sistem yang baik. 

[Contoh Material Kampanye Referendum dari Pihak Pro dan Kontra. Sumber: Pribadi]

Minggu lalu, tepatnya pada 16 April 2017, Turki baru saja melewati salah satu momen penting dalam perjalanan politiknya sebagai sebuah Republik modern. Momen penting tersebut adalah referendum terkait amandemen 18 pasal dalam konstitusi Turki yang membahas tentang perubahan sistem pemerintahan serta penyesuaian peran lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di dalam proses perubahan sistem pemerintahan tersebut. Referendum kali ini merupakan salah satu referendum paling menentukan dan paling panas dalam sejarah Turki. Pihak pro dan kontra-referendum sama-sama berjuang dengan cukup keras dalam menggaet suara warga Turki. Hasil yang sementara dapat diobservasi di beragam media menunjukkan bahwa referendum kali ini dimenangkan oleh pihak pro-referendum dengan suara sebesar 51.41%, yang terpaut amat tipis dengan suara dari pihak kontra-referendum sebesar 48.59%.

Terkait referendum kali ini, tim Turkish Spirit telah menyiapkan beberapa artikel yang akan mengevaluasi dan menganalisa secara dalam proses referendum dari beragam aspek. Tulisan dari dua orang editor tim Turkish Spirit, Didid Haryadi dan Hadza Min Fadhli Robby, serta tulisan dari mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah UGM, Moddie Alvianto Wicaksono, akan menjadi bagian dari ikhtisar Turkish Spirit terkait Referendum Turki. Semoga ikhtisar ini dapat membantu pembaca untuk dapat memahami referendum secara lebih baik dan berimbang. Selamat membaca.

Referendum Turki: Antara Ambisi dan Momentum Membangun Turki yang Lebih Maju

Oleh: Didid Haryadi (Pimpinan Redaksi Turkish Spirit)

Peristiwa kudeta 15 Juli 2016 telah memberikan dampak yang sangat besar bagi Turki. Selain suasana pemeriksaan yang semakin ketat di hampir semua stasiun kereta, bandara dan terminal juga menghadirkan rasa kekhawatiran dan persepsi negatif yang secara relatif muncul di dalam dan luar negeri pemerintah terus melakukan pemeriksaan dan penelusuran kepada beberapa orang. Pascakudeta gagal yang menewaskan lebih dari 200 lebih jiwa tersebut, yang diyakini memiliki relasi dengan aktor kudeta.

Sejauh ini situasi keamanan di Turki cukup stabil. Jika dibandingkan dengan dua tahun terakhir stabilitas politik dan ekonomi Turki menghadapi tantangan besar. Sebut saja ancaman terorisme melalui serangakian ledakan bom yang telah menewaskan banyak warga sipil dan juga pihak keamanan yang terjadi di beberapa kota seperti Ankara, Istanbul, Izmir, dan Kayseri. Selain itu pada bidang ekonomi, nilai tukar mata uang Lira yang terus melemah hingga pernah menyentuh angka 3,9 TL (Turkish Lira) terhadap Dollar Amerika Serikat. Namun demikian, sampai hari ini,kondisinya masih fluktuatif dan hanya bergerak pada level 3,6-3,7 TL (per 1 USD).

Sebagai antisipasi dan sekaligus solusi memperkuat stabilitas ekonomi, politik dan keamanan Pemerintah Turki telah menawarkan pilihan kepada publik untuk melakukan referendum, tepatnya
pada 16 April 2017. Secara historis, referendum di Turki telah melewati jalan panjang dan menjadi babak sejarah yang menarik untuk terus ditelusuri. Tercatat sudah enam kali referendum dihelat oleh negara bekas Kesultanan Usmani ini. Diantaranya adalah pada tahun 1961, 1982, 1987, 1988, 2007 dan 2010. Secara statistik, referendum tahun 1982 mencetak pencapaian hasil yang sangat tinggi. Dengan jumlah pemilih ‘Evet’ (Ya) yang mencapai 91,4% (hampir menyentuh 19 juta pemilih), sedangkan pemilih ‘Hayır’ (Tidak) hanya 8,6% (sekitar 1,6 juta pemilih). Pada sisi lainnya, dari enam kali penyelenggaraan referendum sebanyak lima kali (1961, 1982, 1988, 2007 dan 2010) pemilih ‘Evet’ selalu melampaui ambang batas threshold (selalu di atas 50%).

Referendum 16 April 2017 telah melalui tahapan kepada publik Turki. Tepatnya pada 10 Februari 2017 Presiden Reccep Tayyip Erdoğan menandatangani persetujuan paket amandemen konstitusi. Sebelumnya pada 21 Januari 2017 sebanyak 339 anggota parlemen sepakat untuk mengubah 18 poin dalam konstitusi dan selanjutnya diratifikasi oleh presiden. Referendum 16 April tentu saja akan menjadi babak sejarah baru bagi Turki. Paket amandemen konstitusi yang menawarkan sistem presidensial diyakini menjadi pilihan terbaik untuk menghadirkan kedaulatan Turki baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Jika hasil referendum nantinya melampaui ambang batas, di atas 50% maka dipastikan sistem pemerintahan Turki akan berubah menjadi Presidensial yang sebelumnya menganut sistem Parlementer, yang mana keberadaan Perdana Menteri akan dihapus dan digantikan dengan Wakil Presiden.

Pihak oposisi terutama partai CHP (Cumhuriyet Halk Partisi), Partai Rakyat Republik selalu menekankan bahwa tawaran referendum sistem presidensial akan semakin mengokohkan status quo pemerintahan yang sekarang dan cenderung menganut paham otoritarian. Sebagai generasi pewaris dan penjaga nilai-nilai Kemalist (pengikut Mustafa Kemal Atatürk), pihak oposisi merasa ide referendum hanya akan memberikan kekuasaan tanpa batas dalam konstitusi baru. Di Turki, dikenal terma ‘Tek Adam’ (hanya satu pemimpin—makna literal), yang berarti kewenangan penuh yang akan dimiliki hingga periode 2029. Kondisi ini merupakan kekhawatiran dari pihak oposisi yang masih menganggap bahwa tidak ada yang bisa menggantikan sang pendiri Republik Turki, Mustafa Kemal Atatürk. Hal yang senada juga terus disampaikan oleh pihak oposisi lain seperti HDP (Halkların Demokratik Partisi)—Partai Demokratik Rakyat yang pro-Kurdi, tetap menentang dan menolak pengakhiran sistem parlementer.

Akan tetapi, melalui referendum ini juga hal-hal yang mendasar tidak diubah. Secara tegas, hal ini bisa dijumpai dalam pembukaan konstitusi Turki (Türkiye Cumhuriyeti Anayasası) yang menyatakan bahwa identitas negara Turki adalah berbentuk Republik (pasal 1), Turki adalah negara hukum yang berdasarkan atas nasionalisme Atatürk, demokratik, dan sekular (pasal 2), dan  Bahasa Turki sebagai bahasa nasional, bendera negara yang terdiri dari gambar Bulan Sabit dan Bintang, lagu kebangsaan İstiklal Marşı dan Ankara sebagai ibukota negara. Yang menarik adalah dalam pasal selanjutnya (pasal ke-4) dinyatakan bahwa tidak diperbolehkan adanya pengubahan pasal 1,2, dan 3.

Pemerintahan Republik Turki dalam beberapa bulan terakhir selalu menyerukan pembangunan dan penanaman nilai-nilai nasionalisme kepada rakyatnya. Yang menarik adalah seruan dengan slogan ‘Yeni Türkiye’ (Turki yang Baru). Dalam setiap kesempatan pidato publik dan kampanyenya, presiden Erdoğan biasanya menyebutkan empat hal: tek millet (satu bangsa), tek bayrak (satu bendera), tek vatan (satu tanah air), dan tek devlet (satu negara). Ini adalah sebuah medium yang diambil untuk terus menciptakan rasa solidaritas dan mempertegas identitas sebagai orang Turki. Sekaligus ajakan untuk mengambil bagian partisipasi aktif dalam pembangunan, serta langkah startegis yang ditempuh untuk memperkuat dan memperoleh simpati dari rakyat.

Sejak mendeklarasikan sebagai negara Republik pada 29 Oktober 1923, Turki mengalami fase panjang perjalanan sosial dan politik. Geliat pembangunan di kota besar seperti Istanbul adalah contoh kecil yang bisa merepresentasikannya. Pencapaian pembangunan yang mendapatkan restu dari publik terus dikampanyekan. Narasi sosial untuk membangun Turki yang besar dan kuat terus disiarkan oleh media pemerintah. Dan sebagai upaya menuju 100 tahun kemerdekaannya pada 2023 nanti, Turki telah dan sedang melakukan program partisipasi kepada rakyatnya dan pembaruan fasilitas publik yang meliputi jalan raya, jembatan, bandar udara, metro (kereta bawah tanah), Avrupa Tüneli (Tol bawah laut—yang membelah Selat Bosphorus) dan museum-museum yang menyimpan
nilai wisata sejarah budaya.

Meskipun demikian, banyak juga sisi lain yang juga terus menjadi sorotan publik. Misalnya saja, penangkapan ribuan orang termasuk hakim, jaksa, dosen dan polisi yang diduga terlibat dalam kudeta 15 Juli yang lalu. Situasi ini berimplikasi negatif terhadap independensi yudikatif Turki yang merosot ke posisi 151 dari 180 negara di dunia. Pihak pemerintah Turki meyakini bahwa Fethullah Gülen adalah aktor dibalik kudeta Juli kemarin. Seperti yang disampaikan oleh Ahmet Kasim Han, pakar politik dari Kadir Has University kepada BBC, “parlemen yang bertindak sebagai pengimbang akan
segera dihapus.” Konteks referendum Turki adalah Referendum Obligatoir. Artinya, prosesi ini harus terlebih dahulu mendapat persetujuan langsung dari rakyat sebelum suatu undang-undang tertentu diberlakukan. Persetujuan dari rakyat mutlak harus diberikan dalam pembuatan suatu undang-undang yang mengikat seluruh rakyat karena dianggap sangat penting. 

Sebanyak 55,319,222 pemilih akan berpartisipasi dalam referendum 16 April 2017. Dari jumlah tersebut pemilih yang berusia 18 tahun sebanyak 1,269,282. Sebagai catatan tambahan, kurang lebih tiga juta pemilih yang berada di luar negeri, tersebar di 57 negara telah menggunakan hak suaranya pada 27 Maret-9 April lalu. Untuk memaksimalkan prosesi referendum 2017 ini, sebanyak 167,140 kotak suara telah disebar ke seluruh Turki, dan sebanyak 461 berada di lembaga pemasyarakatan (penjara). Untuk waktu pemilihan, akan diberikan dari jam 8 pagi hingga 5 siang. Sedangkan untuk wilayah seperti Adıyaman, Diyarbakır, Mardin, Şamlıurfa, Trabzon dan daerah sekitarnya akan dimulai dari jam 7 pagi hingga jam 4 siang (penyebutan ini karena sekarang adalah musim semi, siang lebih panjang dari malam). Sedangkan kampanye referendum sudah harus berakhir pada 15 April 2017 pada jam 6 siang. Ketentuan ini sesuai arahan Dewan Pemilihan Tinggi (Yüksek Seçim Kurulu).

Di luar referendum tersebut, juga masih banyak pekerjaan pemerintahan Turki. Gelombang pengungsi dalam jumlah yang besar tentu saja akan menjadi polemik sosial di masa yang akan datang. Keinginan Turki untuk menjadi anggota penuh Uni Eropa sejak resmi ditetapkan sebagai kandidat pada 12 Septemer 1963 sampai sekarang juga belum direstui. Menarik untuk ditunggu hasil referendum 16 April 2017 ini: apakah mampu merubah hasil referendum 1982 yang masih berlaku hinga hari ini di Turki?


Menerka Hasil Referendum Turki
Oleh: Moddie Alvianto Wicaksono (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Timur Tengah, UGM)

Setelah era Mustapha Kemal Pasha berakhir, Erdogan diklaim sebagai pemimpin Turki yang memiliki jiwa Islamis (Kanra, 2009:35). Erdogan seakan menjadi oase setelah 80 tahun Turki bukan dipimpin oleh pemimpin Islamis. Mulanya, ia adalah Perdana Menteri yang menjabat dari tahun 2003-2014. Namun semenjak tahun 2014, Erdogan berhasil terpilih menjadi presiden melalui pemilihan langsung. Kepemimpinan Erdogan sejatinya telah teruji sejak tahun 1994. Saat itu, Erdogan terpilih menjadi walikota Istanbul. Pelbagai sektor kehidupan seperti ekonomi dan pariwisata digarap dengan baik. Salah satunya penataan kota Istanbul hingga menjadi salah satu destinasi wisata terbaik di dunia. Selain itu, banyak pengangguran yang dipekerjakan olehnya sehingga mengurangi tingkat pengangguran di Istanbul (Eligur, 2010:76).
Meroketnya nama Erdogan membawa berkah bagi partainya yaitu Justice and Development Party (AKP) sehingga membuat ia bersama partainya bisa memegang pucuk kepemimpinan pemerintahan Turki baik sebagai perdana menteri maupun presiden. Ujian Erdogan dan Turki baru dimulai pasca meletusnya krisis Arab Spring yang terjadi di Tunisia, Yaman, Mesir, dan Suriah pada tahun 2011. Perisitiwa Arab Spring ditengarai menyebabkan krisis kemanusiaan di Timur Tengah dan menghasilkan gelombang imigran yang berlebihan. Gelombang imigran paling banyak terdiri dari Suriah. Hal ini tak mengherankan karena secara geografis Suriah berbatasan langsung dengan Turki. Tercatat hingga saat ini 3 juta pengungsi mencari suaka ke wilayah Turki. Selain itu, kemunculan ISIS dan percobaan kudeta terhadap dirinya semakin menguatkan pemerintahan Erdogan untuk segera mengubah konstitusi dan melaksanakan referendum.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh lembaga QU4RO Strategis and Consulting, sejatinya isu referendum sudah terjadi sejak tahun 1961. Turki telah melakukan polling sebanyak 5x mengenai referendum konstitusi yaitu pada tahun 1961, 1982, 1987/1988, 2007, dan 2010.
C:\Users\mogie\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\Screenshot_2017-04-07-09-06-32-1.png
[Hasil Referendum Turki 1961-2010. Sumber: QU4TRO]

Hasilnya cukup mengejutkan. Ternyata sejak tahun 1961, masyarakat Turki telah menginginkan referendum konstitusi. Pemilih ‘yes’ selalu mengalahkan pemilih ‘no’ dengan marjin yang cukup besar kecuali pada tahun 1987. Dengan adanya rentetan sejarah polling ini akan justru melegitimasi keinginan pemerintahan Erdogan untuk segera melakukan referendum. Selain QU4TRO, ada beberapa lembaga sejenis semacam Gezici, ORC dan MetroPoll yang telah melakukan polling serupa sejak awal 2015. Meskipun pada mula tahun 2015, pemilih NO masih mendominasi dengan perolehan 76% namun sampai dengan awal Januari ternyata pemilih YES berbalik mencapai 62%. Ini menjadi awal positif bagi pemerintahan Erdogan untuk melanggengkan referendum.
Ada 18 pasal yang rencananya akan diubah ketika referendum berhasil. Dari 18 pasal, ada beberapa pasal yang menjadi titik poin penting perubahan bagi pemerintahan Erdogan. Diantaranya sebagai berikut:
  1. Presiden akan menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
  2. Posisi Perdana Menteri akan dihapuskan kemudian akan diganti dengan wakil presiden.
  3. Masa jabatan presiden dibatasi selama 2 periode (1 periode = 5 tahun)
  4. Pemilihan presiden dan legislatif akan diberlakukan tiap 5 tahun dan dijadwalkan di hari yang sama.
  5. Legislatif bisa menurunkan presiden asalkan syarat voting mencapai 2/3 dari jumlah legislatif.
Melihat rencana gubahan konstitusi, Turki tampak ingin meniru sistem demokrasi yang sudah diimplementasi beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Indonesia. Hal ini sebenarnya tak mengherankan ketika Turki ingin meniru sistem kedua negara tersebut karena adanya hubungan baik secara ekonomi atau politik terjalin dengan harmonis. Tentunya, pemerintahan Erdogan pun menilai hingga saat ini sistem demokrasi yang dijalankan kedua negara tersebut paling baik untuk dicontoh.
Pro-Kontra Referendum
Seiring berjalannya waktu menuju referendum, masyarakat Turki terbelah menjadi dua bagian yaitu antara kubu pro dan kontra. Kubu pro berpendapat bahwa kampanye Erdogan akan membawa kestabilan dan kemoderenan sehingga mengubah wajah Turki menjadi “New Turkey”. Masifnya gerakan ISIS, serangan dari kelompok Kurdi, gelombang imigran hingga sulitnya Turki masuk menjadi bagian dari Uni Eropa menjadi alasan kuat bagi kelompok pro yang digawangi oleh pemerintah. Alasan terakhir menjadi poin penting karena sudah menjadi rahasia umum jika Turki ingin sepenuhnya menjadi bagian Eropa.
Sedangkan kubu kontra menganggap bahwa jika Erdogan berkuasa penuh maka ketakutan yang terbesar adalah membawa Turki menjadi negara Islamis. Selain itu, pemerintahan Erdogan diduga melakukan nepotisme berlebihan dan juga dianggap telah menyegel kebebasan pers. Beberapa surat kabar dianggap memberitakan hal buruk kepada pemerintahan Turki. Hal ini yang menjadi alasan kuat untuk mengkudeta Turki walaupun pada akhirnya gagal. Ini jelas paradoks karena disaat demokrasi menjunjung kemerdekaan berpendapat malah yang terjadi represi mengerikan terhadap pers.
Pertanyaannya adalah apakah pemerintahan Erdogan berhasil melanggengkan kekuasaannya? Atau apakah kekuasaan Erdogan justru dihentikan oleh kubu kontra? Menarik untuk ditunggu dan disimak!

Perjalanan Referendum dan Redefinisi Demokrasi di Turki
Oleh: Hadza Min Fadhli Robby (Tim Editor Turkish Spirit) 

Demokrasi Turki akan melalui kembali salah satu titik nadir dalam perjalanannya pada 16 April nanti. Secara garis besar, referendum ini akan meminta persetujuan warga negara Turki atas proposal amandemen konstitusi yang telah disusun oleh Komisi Konstitusi Parlemen Turki berisi 18 pasal yang berkisar tentang perubahan sistem pemerintahan dan pengubahsuaian fungsi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di Republik Turki. Adanya perubahan sistem pemerintahan ini tentu saja bukan merupakan sebuah hal yang sederhana, namun sebuah tahapan yang radikal dan fundamental bagi kelanjutan politik Republik Turki yang usianya mendekati satu abad.

Referendum bukan hal baru bagi warga negara Turki, bahkan dalam jangka waktu satu dekade warga negara Turki sudah mengalami dua kali referendum pada tahun 2007 dan 2010. Sejarah panjang referendum di Turki sebenarnya sudah bermula sejak tahun 1961.  Menarik untuk melihat bahwa beberapa kali referendum di Turki terjadi langsung setelah berlangsungnya kudeta militer. Proses referendum di Turki diawali pada tahun 1961 oleh pemerintahan baru yang dipimpin oleh Cemal Gürsel. 

Referendum selanjutnya, yakni pada tahun 1982, juga terjadi setelah peristiwa kudeta tahun 1980 yang dipimpin oleh Jenderal Kenan Evren. Referendum kali ini membahas soal penggantian Konstitusi 1961 yang dianggap tidak berlaku lagi oleh pihak junta, sehingga pihak junta dan pemerintah sipil bersama-sama merancang sebuah konstitusi baru yang dianggap sesuai dengan agenda stabilisasi politik dan ekonomi Turki.

Walaupun Konstitusi 1982 mengandung beberapa pasal yang mendorong proses demokratisasi dan pengadopsian norma hak asasi manusia, beberapa pihak menganggap bahwa Konstitusi 1982 masih mengandung banyak anasir-anasir anti-demokratik di dalamnya, seperti misalnya adanya supremasi militer atas sipil dan pembatasan terhadap beragam hak sipil dan hak sosial-politik. Konstitusi 1982 juga tidak dikonsultasikan dan dibicarakan secara terbuka oleh pihak junta dan partai penguasa pada masa itu. 

Seiring dengan berjalannya proses demokratisasi dan liberalisasi pasar Turki pada pertengahan dekade 1980-an, Turki mulai mengubahsuaikan beberapa pasal dalam Konstitusi 1982, seperti misalnya pelarangan hak politik bagi beberapa politisi yang dianggap provokatif oleh pihak junta. Namun, keresahan berbagai pihak dari beragam spektrum ideologi terkait Konstitusi 1982 masih tersisa, bahkan argumen tentang amandemen Konstitusi 1982 makin mewacana pada tahun-tahun setelah terjadinya kudeta pos-modern pada 1997.

Setelah naiknya AKP ke tampuk kekuasaan pada tahun 2003, AKP sebagai partai yang pada mulanya memiliki pragmatisme politik dan program demokratisasi yang terstruktur menjadikan reformasi dan amandemen Konstitusi 1982 sebagai salah satu agenda utama politik partai. Adanya ambisi AKP untuk mereformasi dan mengamandemen Konstitusi 1982 didasari oleh dua hal: pertama, ambisi Turki untuk menjadi negara anggota Uni Eropa dan mengikuti standar-standar yang ditetapkan oleh Uni Eropa; kedua, upaya untuk meredupkan pengaruh dan warisan ancien regime yang terdiri dari kelompok tentara dan Kemalis.

 Dalam upayanya untuk mereformasi Konstitusi 1982, Turki yang berada dibawah kendali AKP membentuk sebuah komisi  yang dinamakan sebagai ‘Komisi Konstitusi Sipil’ yang terdiri dari politisi dan pakar hukum konstitusional yang ditugaskan untuk membuat draf konstitusi. Namun, draf konstitusi ini tidak mendapat sambutan luas dari masyarakat karena kerja komisi dianggap tidak terbuka dan transparan.

Tak lama kemudian, Turki kemudian mengadakan referendum pada tahun 2007 yang membahas tentang ‘pemilihan Presiden secara langsung’. Referendum 2007 diterima secara luas oleh masyarakat Turki, karena pemilihan Presiden (meskipun jabatannya relatif simbolik dalam sistem parlementer) dianggap sebagai kesempatan baru dalam eksperimentasi demokrasi di Turki. Namun, pihak oposisi yang menolak Referendum 2007 menganggap bahwa pemilihan Presiden langsung dapat dijadikan sebagai alat bagi penguasa untuk melakukan manuver dalam merebut kekuasaan yang lebih besar lagi. 

Adanya Referendum 2007 ini menjadi awalan bagi Turki untuk menjalankan amandemen konstitusi yang lebih komprehensif lagi. Partai penguasa AKP kemudian mengagendakan referendum pada tahun 2010 dengan pembahasan amandemen konstitusi yang jauh lebih luas, mencakup masalah-masalah mulai dari pengarusutamaan norma hak asasi manusia hingga masalah pengaturan lembaga yudisial. Referendum ini diperdebatkan secara cukup sengit antara penguasa dan oposisi, dimana penolakan terhadap referendum lebih kuat menggaung dibandingkan sebelumnya. Namun, karena adanya harmoni antara amandemen konstitusi dengan nilai-nilai Uni Eropa, referendum amandemen konstitusi berhasil dimenangkan kembali oleh AKP dan oposisi secara konsekuen menerima hasil referendum tersebut.

Kini, konteks politik, sosial-masyarakat dan ekonomi sudah berubah di Turki. Tak seperti 10 tahun lalu, Turki menghadapi lingkungan domestik, regional dan internasional yang lebih kompleks dari sebelumnya. Beragam peristiwa yang memiliki dampak besar telah dilalui Turki dengan susah payah, mulai dari gelombang Arab Spring, rangkaian protes Gezi Park, konflik Suriah, krisis diplomatik dengan negara-negara Uni Eropa serta percobaan kudeta 15 Juli 2016. Referendum amandemen konstitusi yang akan berlangsung 16 April 2017 berkembang dalam lingkup kompleksitas tersebut. 

Seperti yang telah disebutkan singkat di atas, referendum amandemen konstitusi hendak menetapkan sebuah langkah radikal yang dapat mengubah politik Turki untuk selamanya, yakni dengan mentransformasi sistem parlementer ke presidensial. Selain itu, ada pula pasal-pasal yang membahas tentang perluasan peran parlemen dan pengurangan pengaruh militer secara drastis dalam perlembagaan politik dan peradilan Turki. Langkah radikal ini diambil oleh Turki dengan satu alasan, dalam bahasa partai penguasa AKP, untuk menetapkan Turki pada jalan yang semestinya. 

Mengambil alasan ketidakefektifan sistem parlementer dalam penentuan dan pelaksanaan keputusan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya serta kekhawatiran akan kudeta-kudeta susulan, AKP beserta partai mitra mencoba untuk membangun sistem yang dianggap tangguh dalam menghadapi kompleksitas kedepannya.  Menurut AKP, dengan sistem yang tangguh, permasalahan di tingkat nasional, regional dan internasional akan dijawab secara lebih tegas dan jelas, tanpa perdebatan yang panjang.  

Di sisi lain, referendum kali ini memang bukan referendum yang mudah bagi AKP, sebab oposisi yang dipimpin oleh CHP dan HDP memiliki kontra-argumen yang cukup kuat dan oposisi juga didukung oleh segmen masyarakat yang datang dari beragam ideologi, mulai dari Islamis (Saadet Partisi) sampai komunis. Bahkan, beberapa faksi dari partai pendukung amandemen konstitusi juga turut ada dalam barisan oposisi. Pihak oposisi berpendapat bahwa amandemen konstitusi merupakan sebuah keharusan untuk membangun sebuah sistem politik yang lebih sipil dan demokratis, namun adopsi sistem presidensial bukanlah solusi bagi Turki.

 Oposisi mengkhawatirkan suatu kondisi yang disebut sebagai kuasa satu-orang yang akan berdampak negatif bagi proses demokratisasi Turki yang telah berlangsung sedemikian panjang. Selain itu, oposisi juga memandang bahwa pasal-pasal yang diusulkan dalam referendum akan lebih banyak membantu konsolidasi kekuasaan penguasa, bukannya konsolidasi demokrasi dan masyarakat sipil secara umum di Turki. Ada juga kekhawatiran yang muncul dari pihak kontra bahwa sentralisasi kekuasaan yang makin kuat akan mengakibatkan perpecahan masyarakat serta instabilitas berkepanjangan.

Di balik semua argumen tentang optimisme dan kekhawatiran terkait referendum, pakar politik Turki, Emin Fuat Keyman, memberikan sebuah pernyataan yang bijak. Keyman menyatakan bahwa masa depan demokrasi dan pemerintahan Turki sebenarnya bukan pada masalah adopsi sistem presidensial atau parlementer, bukan pada perubahan sistem secara radikal, namun pada penguatan demokrasi yang berbasis pada perimbangan dan pengawasan antar sistem yang baik. 

Hasil referendum sementara yang menunjukkan suara 'Iya' yang berbeda amat sedikit dengan suara 'Tidak' akan menjadi tes tersendiri bagi demokrasi Turki, terutama bagi pihak penguasa. Pihak penguasa akan mempunyai tugas berat untuk melakukan rekonsiliasi dan negosiasi dengan pihak oposisi untuk menyepakati rencana kedepan terkait perubahan sistem pemerintahan. Karena perubahan yang akan disepakati merupakan sebuah perubahan radikal, maka proses transisi dan transformasi ini akan memakan waktu dan tenaga yang besar. 

Pimpinan partai oposisi, Kemal Kılıçdaroğlu telah menyatakan bahwa dirinya siap melakukan negosiasi dengan pihak penguasa terkait dengan hasil referendum dan ketika negosiasi ini selesai, baik pihak penguasa dan oposisi akan bersama-sama mengeluarkan sebuah deklarasi terkait rekonsiliasi dan kesepakatan tentang bagaimana perubahan sistem pemerintahan ini akan dikawal bersmaa. 

Harapan terakhir, semoga Turki dapat melewati semua proses politik ini dengan baik, deliberatif dan demokratis.