Tampilkan postingan dengan label Berita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berita. Tampilkan semua postingan

Sudahkah Kamu Miliki Buku Ini?

09.01.00 Add Comment

Inilah Turki Yang Tak Kalian Kenal


Buku pertama karya kami Turkish Spirits sudah terbit. Dalam buku ini, kamu akan menemukan banyak topik tentang Turki yang tak pernah didengar sebelumnya: seru, baru dan penuh kejutan. Bagi yang tertarik untuk memilikinya, silakan kunjungi toko-toko buku terdekat (Tim/TS).

Misriani, Gelin Indonesia Pertama di Turki?

11.57.00 1 Comment

"Pertam kali, saya belalajar kata ‘Ben’ (saya), dan ‘Sen’ (kamu, anda). Saya berhasil menyesuaikan dan mempelajari dua kata ini."

[Ilustari. Foto: http://www.vogue.es/]
Sebagai negara yang memiliki sejarah dan peradaban besar, Turki selalu menjadi pilihan destinasi bagi para wisatawan. Salah satunya adalah para pelancong dari kawasan Asia, termasuk negara kita Indonesia. Seiring waktu, Turki bukan hanya dikenal sebagai tujuan wisata bagi Indonesia, tetapi menjadi salah satu negara yang cowok-cowoknya mulai digandrungi oleh sebagian gadis Indonesia. Di antara gadis-gadis yang dipersunting pria Turki, ada seorang ibu yang ditengarai sebagai perempuan pertama yang menikah dengan pria Turki. 

Pernyataan di atas tentu saja butuh diklarifikasi untuk memastikan data, tetapi berdasarkan kronik tahun, Ibu Misriani, wanita asal Banyuwangi, Jawa Timur, mungkin saja menjadi gelin (menentu perempuan) yang masuk generasi kids zaman old. Misriani pernah diwawancarai oleh salah satu media Turki Senoz Deresi tentang cerita hidupnya selama berada di Turki sejak tahun 1985. Berikut ini adalah terjemahan dari wawancaranya yang telah diterbitkan pada 16 Desember 2011.

Misriani lahir pada 22 Agustus 1968 di Banyuwangi adalah bungsu dari tiga bersaudara. İa menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian pada tahun 1985 ia tiba di Turki, saat itu usianya 17 tahun. Sebelumnya, Misriani bekerja di sebuah kapal dan bertemu dengan Ismail, pria berkewarganegaraan Turki yang berasal dari kota kecil Çayeli yang berada di Provinsi Rize—wılayah Laut Hıtam. Ringkas cerita, Ismail menikah dengan Misriani dan memulai kehidupan baru di Kota Çayeli. Sebagai seorang gelin—istilah yang digunakan untuk warga asing yang menikah dengan warga negara Turki, ia sudah lama sekali tidak mengunjungi İndonesia dan merasa sangat rindu dengan tana airnya. Meryem Şahin, jurnalis dari Senoz Deresi berjumpa langsung dengan Misriani dan berbincang tentang pengalamannya tinggal di Turki.

Meryem Şahin: Kita mulai dengan cerita tentang kedatangan anda dari Indonesia ke Çayeli. Bagaimana perjumpaan anda dengan suami?

Misriani: Nama suami saya, İsmail. Saat datang ke Indonesia, ia bermaksud untuk memulai bisnis. Di waktu itu, saya juga sedang mencari pekerjaan sebagai penerjemah. Dan awalnya, Ismail adalah teman dari paman saya. Sejak momen itu kami pertama kali bertemu satu sama lain.

Meryem Şahin: Bagaimana respon keluarga anda tentang pekerjaan tersebut? Karena untuk melepas seorang anak perempuan ke daerah yang jauh dari kampung halamannya bukanlah hal yang mudah. Apakah anda menikah dengan restu dari mereka?

Misriani: Sebenarnya saya tidak menyampaikan semua hal tentang ini (pekerjaan). Karena awalnya kakek saya berpikir tempat ini sangat jauh. Tetapi, akhirnya saya mendapatkan persetujuan tentang apa yang saya inginkan.

Meryem Şahin: Sepertinya itu adalah sebuah keputusan yang berani, penuh pertimbangan. Karena anda sama sekali tidak mengetahui bahasa dan budaya tempat yang anda kunjungi.

Misriani: Sebenarnya suami saya pernah berujar kepada saya bahwa kami akan tinggal di Indonesia,  begitu ujarnya. Ia mengatakan akan menata dan mengurus bisnisnya di sana (Indonesia). Saya pun menyetujuinya. Akan tetapi dalam waktu selanjutnya, hal tersebut tidak terjadi. Sampai dengan 15 hari setelah itu, kami memutuskan untuk ke Istanbul. Kemudian kami berangkat menuju ke Rize di kota Çayeli.

Meryem Şahin: Bagaimana pertama kali anda tiba di Turki? Apa saja pengalaman yang anda rasakan?

Misriani: Di Istanbul, saya pertama kali melihat secara langsung salju. Rasanya sangat aneh. Butuh  waktu bagi saya untuk menyesuaikannya. Kami berada di Istanbul selama dua hari. Setelah itu kami menuju ke kota Ankara, tepatnya ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk pengurusan izin tinggal di Turki. Akan tetapi, pihak KBRI tidak bisa memberikan izin tinggal kepada saya karena usia saya yang masih muda. “and tidak akan bisa mendapatkan izinnya”, dan menyampaikan bahwa saya akan dikembalikan ke Indonesia. Namun, saya tidak menolaknya.

Meryem Şahin: Bagaimana perasaan anda saat tiba di Rize? Bagaimana respon orang-orang di sana? Apakah ada kabar tentang kedatangan anda di Çayeli?

Mirsiani: Setelah tiba di Istanbul, suami saya, Ismail, mencari rumah. Setelah itu rampung, baru kami berkabar. Hari pertama tiba di Rize, saya menikmati sarapan (kahvaltı) khas Turki yang telah disiapkan. Akan tetapi, di kampung halaman saya di Indonesia, untuk sarapan kami biasanya mengonsumsi nasi dan lauk lainnya. Saat sarapan, bahkan saya tidak mengambil satu pun makanan. Dan itu sangat aneh bagi beberapa orang yang ada pada saat itu. “Hey, Ismail. Ia membawa beberapa buah biji kacang”. Dan dalam situasi tersebut, saya sama sekali tidak paham apa yang sedang dibicarakan. Hari pertama ke rumah (di Çayeli), “pengantin—orang asing, telah datang, begitu ujar beberapa orang”. Jalanan di sekitar tempat tinggal sangat ramai oleh warga yang datang. Mereka sangat penasaran dengan saya. Hari itu rasanya sangat berat dan tersulit yang pernah saya alami.

Meryem Şahin: Apakah anda melangsungkan pesta pernikahan?

Mirsiani: Tidak. Hanya menikah saja. Pesta pernikahan diselenggarakan ketika kembali lagi ke Turki. Di Indonesia, kami tidak bisa menikah secara resmi karena ada peraturan yang mengharuskan memiliki kartu identitas sebagai warga negara saat usia 18 tahun.  Saya membawa ijazah SMA ke sini (Turki). Saya mendapatkan passport dengan ijazah dan selanjutnya menikah. Namun, kami harus menunggu sampai satu tahun untuk pernikahannya.

Meryem Şahin: Ketika anda telah menjadi pengantin, apakah anda tinggal bersama kerabat anda?

Mirsiani: Iya. Kami sudah tujuh tahun tinggal bersama. Di Indonesia, kami memiliki keluarga besar. Dan ketika saya ke sini, saya merasa sangat kesepian. Pada enam bulan pertama, saya tinggal bersama suami, Ismail. Selanjutnya selama 13 bulan setelahnya Ia bekerja di kapal. Saya tidak akan pernah melupakan hari-hari saat tak bersamanya. Saya merasa seperti seorang anak yatim.

Meryem Şahin: Kapan persisnya anda memperoleh kewarganegaraan Turki?

Mirsiani: Dua tahun setelah saya di Turki.

Meryem Şahin: Berapa orang anda sekarang?

Mirsiani: Saya memiliki empat orang anak. Tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Anak laki-laki tertua namanya Bilal, kuliah di Yıldız Tehnical University jurusan teknik perkapalan. Ali dan Ahmet masih SMA. Dan yang terakhir, Meryem, masih kelas lima sekolah dasar (SD).

Meryem Şahin: Anda memiliki budaya dan jenis makanan yang sangat berbeda dengan Turki. Apakah sulit untuk beradaptasi dan menyesuaikannya?

Mirsiani: Di Indonesia kami lebih sering memasak nasi dan sayur. Ketika pertama kali tiba di sini, saya hanya memasak nasi dan mengambil beberapa sayur yang ada di kebun. Kemudian mengolahnya menjadi sayuran untuk dimakan.

Meryem Şahin: Apakah anda tahu cara memasak?

Mirsiani: Tidak. Semuanya saya pelajari di sini.

Meryem Şahin: Makanan apa yang pertama kali anda buat?

Mirsiani: Saya pertama kali belajar memasak dengan suami. Saat itu, ia memasak ‘mimci muhalama’ (makanan khas Rize). Pada hari selanjutnya, saya mencoba untuk membuat Mimci Muhalama. Hasilnya tidak terlalu bagus, namun suami memuji dan menyukai masakan saya. Hal itu membuat saya sangat bersemangat untuk terus belajar memasak. Dan saya mendapatkan dukungan dari suami.

Meryem Şahin: Apa hal tersulit yang anda jumpai di Rize?

Mirsiani: Di Indonesia, kami bercocok tanam padi dan jagung. Dan ketika saya di Rize, saya paham bagaimana caranya mengumpulkan daun Teh, bercocok tanam di kebun ataupun beternak sapi. Saya telah belajar dan mendapatkan Rahmat, petunjuk dari Allah SWT. Dan perlahan saya menyukai kegiatan bekebun.

Meryem Şahin: Apa hal teraneh yang anda jumpai di Rize?

Misriani: Di sini saya pertama kali menjumpai minuman yogurt yang dicampur dengan jeruk (orange). Di Indonesia, kami hana memproduksi susu sapi. Sebenarnya Yogurt adalah minuman yang sama sekali tidak saya ketahui. Butuh waktu untuk menyesuaikannya. Di sini, saya menjumpai rumah kayu yang sangat berbeda dengan tempat tinggal saya di Indonesia. Biasanya, kami hanya membuatnya dari Bambu. Inı disebabkan cuaca panas yang ada di Indonesia. Di sini, saya juga melihat cara orang berbicara dengan suara yang tinggi (kencang), itu juga yang sulit bagi saya. Kami terbiasa berbicara dengan suara yang lembut, tidak kencang. Saya terkejut dengan situasi yang saya hadapi ketika semua orang di sini berbicara sambil berteriak.

Meryem Şahin: Apa kata pertama yang anda pelajari?

Mirsiani: Pertam kali, saya belalajar kata ‘Ben’ (Saya), dan ‘Sen’ (Kamu, anda). Saya berhasil menyesuaikan dan mempelajari dua kata ini.

Meryem Şahin: Kapan anda belajar berbicara dengan bahasa Turki?

Mirsiani: Saya merampungkannya selama satu tahun. Saya tidak akan pernah melupakan Emine.Ia telah banyak mengajari bahasa Turki kepada saya. Dan saya berhutang budi kepadanya.

Meryem Şahin: Apakah anda masih bisa berbahasa Indonesia?

Misriani: Saya bisa katakan, saya telah lupa dengan bahasa ibu saya. Lebih banyak campur aduk dengan kata-kata dalam bahasa Turki. Mungkin karena sudah lama tidak mempraktikannya, akhirnya lupa.

Meryem Şahin: Apakah anda masih berkomunikasi dengan kerabat anda?

Misriani: kakek saya telah wafat. Saya mengetahuinya lewat surat yang disampaikan oleh paman dan bibi. Saya tidak tahu dimana kedua orangtua saya. Karena sejak kecil, saya juga tidak mengetahui keberadaannya. Di sini, saya menjumpai seseorang yang bekerja sebagai perawat. Namanya Faridah. Dan kami berjumpa di desa Yomra yang terletak di kota Trabzon.

Meryem Şahin: Apakah anda pernah berkunjung ke Indonesia lagi?

Misriani: Tidak. Saya tidak memiliki waktu untuk ke sana.

Meryem Şahin: Apakah anda ingin ke sana?

Misriani: saya ingin sekali ke Indonesia. Tetapi sangat tidak mungkin. Saya sangat rindu untuk berjumpa lagi dengan paman dan bibi. Juga melihat kebun dan tempat kelahiran saya.

Meryem Şahin: Jika dalam sebuah pertandingan antara Turki dengan Indonesia. Manakah yang akan menang?

Misriani: Tentu saja, Indonesia.

Catatan: Misriani tidak berkenan fotonya dipublikasi.

[Didid/Redaksi TS]



Ikhtisar Seputar Referendum Turki

20.26.00 Add Comment
Keyman mengatakan, masa depan demokrasi dan pemerintahan Turki sebenarnya tidak berdasar pada adopsi sistem presidensial atau parlementer, bukan pada perubahan sistem secara radikal, namun pada penguatan demokrasi yang berbasis pada perimbangan dan pengawasan antar sistem yang baik. 

[Contoh Material Kampanye Referendum dari Pihak Pro dan Kontra. Sumber: Pribadi]

Minggu lalu, tepatnya pada 16 April 2017, Turki baru saja melewati salah satu momen penting dalam perjalanan politiknya sebagai sebuah Republik modern. Momen penting tersebut adalah referendum terkait amandemen 18 pasal dalam konstitusi Turki yang membahas tentang perubahan sistem pemerintahan serta penyesuaian peran lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di dalam proses perubahan sistem pemerintahan tersebut. Referendum kali ini merupakan salah satu referendum paling menentukan dan paling panas dalam sejarah Turki. Pihak pro dan kontra-referendum sama-sama berjuang dengan cukup keras dalam menggaet suara warga Turki. Hasil yang sementara dapat diobservasi di beragam media menunjukkan bahwa referendum kali ini dimenangkan oleh pihak pro-referendum dengan suara sebesar 51.41%, yang terpaut amat tipis dengan suara dari pihak kontra-referendum sebesar 48.59%.

Terkait referendum kali ini, tim Turkish Spirit telah menyiapkan beberapa artikel yang akan mengevaluasi dan menganalisa secara dalam proses referendum dari beragam aspek. Tulisan dari dua orang editor tim Turkish Spirit, Didid Haryadi dan Hadza Min Fadhli Robby, serta tulisan dari mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah UGM, Moddie Alvianto Wicaksono, akan menjadi bagian dari ikhtisar Turkish Spirit terkait Referendum Turki. Semoga ikhtisar ini dapat membantu pembaca untuk dapat memahami referendum secara lebih baik dan berimbang. Selamat membaca.

Referendum Turki: Antara Ambisi dan Momentum Membangun Turki yang Lebih Maju

Oleh: Didid Haryadi (Pimpinan Redaksi Turkish Spirit)

Peristiwa kudeta 15 Juli 2016 telah memberikan dampak yang sangat besar bagi Turki. Selain suasana pemeriksaan yang semakin ketat di hampir semua stasiun kereta, bandara dan terminal juga menghadirkan rasa kekhawatiran dan persepsi negatif yang secara relatif muncul di dalam dan luar negeri pemerintah terus melakukan pemeriksaan dan penelusuran kepada beberapa orang. Pascakudeta gagal yang menewaskan lebih dari 200 lebih jiwa tersebut, yang diyakini memiliki relasi dengan aktor kudeta.

Sejauh ini situasi keamanan di Turki cukup stabil. Jika dibandingkan dengan dua tahun terakhir stabilitas politik dan ekonomi Turki menghadapi tantangan besar. Sebut saja ancaman terorisme melalui serangakian ledakan bom yang telah menewaskan banyak warga sipil dan juga pihak keamanan yang terjadi di beberapa kota seperti Ankara, Istanbul, Izmir, dan Kayseri. Selain itu pada bidang ekonomi, nilai tukar mata uang Lira yang terus melemah hingga pernah menyentuh angka 3,9 TL (Turkish Lira) terhadap Dollar Amerika Serikat. Namun demikian, sampai hari ini,kondisinya masih fluktuatif dan hanya bergerak pada level 3,6-3,7 TL (per 1 USD).

Sebagai antisipasi dan sekaligus solusi memperkuat stabilitas ekonomi, politik dan keamanan Pemerintah Turki telah menawarkan pilihan kepada publik untuk melakukan referendum, tepatnya
pada 16 April 2017. Secara historis, referendum di Turki telah melewati jalan panjang dan menjadi babak sejarah yang menarik untuk terus ditelusuri. Tercatat sudah enam kali referendum dihelat oleh negara bekas Kesultanan Usmani ini. Diantaranya adalah pada tahun 1961, 1982, 1987, 1988, 2007 dan 2010. Secara statistik, referendum tahun 1982 mencetak pencapaian hasil yang sangat tinggi. Dengan jumlah pemilih ‘Evet’ (Ya) yang mencapai 91,4% (hampir menyentuh 19 juta pemilih), sedangkan pemilih ‘Hayır’ (Tidak) hanya 8,6% (sekitar 1,6 juta pemilih). Pada sisi lainnya, dari enam kali penyelenggaraan referendum sebanyak lima kali (1961, 1982, 1988, 2007 dan 2010) pemilih ‘Evet’ selalu melampaui ambang batas threshold (selalu di atas 50%).

Referendum 16 April 2017 telah melalui tahapan kepada publik Turki. Tepatnya pada 10 Februari 2017 Presiden Reccep Tayyip Erdoğan menandatangani persetujuan paket amandemen konstitusi. Sebelumnya pada 21 Januari 2017 sebanyak 339 anggota parlemen sepakat untuk mengubah 18 poin dalam konstitusi dan selanjutnya diratifikasi oleh presiden. Referendum 16 April tentu saja akan menjadi babak sejarah baru bagi Turki. Paket amandemen konstitusi yang menawarkan sistem presidensial diyakini menjadi pilihan terbaik untuk menghadirkan kedaulatan Turki baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Jika hasil referendum nantinya melampaui ambang batas, di atas 50% maka dipastikan sistem pemerintahan Turki akan berubah menjadi Presidensial yang sebelumnya menganut sistem Parlementer, yang mana keberadaan Perdana Menteri akan dihapus dan digantikan dengan Wakil Presiden.

Pihak oposisi terutama partai CHP (Cumhuriyet Halk Partisi), Partai Rakyat Republik selalu menekankan bahwa tawaran referendum sistem presidensial akan semakin mengokohkan status quo pemerintahan yang sekarang dan cenderung menganut paham otoritarian. Sebagai generasi pewaris dan penjaga nilai-nilai Kemalist (pengikut Mustafa Kemal Atatürk), pihak oposisi merasa ide referendum hanya akan memberikan kekuasaan tanpa batas dalam konstitusi baru. Di Turki, dikenal terma ‘Tek Adam’ (hanya satu pemimpin—makna literal), yang berarti kewenangan penuh yang akan dimiliki hingga periode 2029. Kondisi ini merupakan kekhawatiran dari pihak oposisi yang masih menganggap bahwa tidak ada yang bisa menggantikan sang pendiri Republik Turki, Mustafa Kemal Atatürk. Hal yang senada juga terus disampaikan oleh pihak oposisi lain seperti HDP (Halkların Demokratik Partisi)—Partai Demokratik Rakyat yang pro-Kurdi, tetap menentang dan menolak pengakhiran sistem parlementer.

Akan tetapi, melalui referendum ini juga hal-hal yang mendasar tidak diubah. Secara tegas, hal ini bisa dijumpai dalam pembukaan konstitusi Turki (Türkiye Cumhuriyeti Anayasası) yang menyatakan bahwa identitas negara Turki adalah berbentuk Republik (pasal 1), Turki adalah negara hukum yang berdasarkan atas nasionalisme Atatürk, demokratik, dan sekular (pasal 2), dan  Bahasa Turki sebagai bahasa nasional, bendera negara yang terdiri dari gambar Bulan Sabit dan Bintang, lagu kebangsaan İstiklal Marşı dan Ankara sebagai ibukota negara. Yang menarik adalah dalam pasal selanjutnya (pasal ke-4) dinyatakan bahwa tidak diperbolehkan adanya pengubahan pasal 1,2, dan 3.

Pemerintahan Republik Turki dalam beberapa bulan terakhir selalu menyerukan pembangunan dan penanaman nilai-nilai nasionalisme kepada rakyatnya. Yang menarik adalah seruan dengan slogan ‘Yeni Türkiye’ (Turki yang Baru). Dalam setiap kesempatan pidato publik dan kampanyenya, presiden Erdoğan biasanya menyebutkan empat hal: tek millet (satu bangsa), tek bayrak (satu bendera), tek vatan (satu tanah air), dan tek devlet (satu negara). Ini adalah sebuah medium yang diambil untuk terus menciptakan rasa solidaritas dan mempertegas identitas sebagai orang Turki. Sekaligus ajakan untuk mengambil bagian partisipasi aktif dalam pembangunan, serta langkah startegis yang ditempuh untuk memperkuat dan memperoleh simpati dari rakyat.

Sejak mendeklarasikan sebagai negara Republik pada 29 Oktober 1923, Turki mengalami fase panjang perjalanan sosial dan politik. Geliat pembangunan di kota besar seperti Istanbul adalah contoh kecil yang bisa merepresentasikannya. Pencapaian pembangunan yang mendapatkan restu dari publik terus dikampanyekan. Narasi sosial untuk membangun Turki yang besar dan kuat terus disiarkan oleh media pemerintah. Dan sebagai upaya menuju 100 tahun kemerdekaannya pada 2023 nanti, Turki telah dan sedang melakukan program partisipasi kepada rakyatnya dan pembaruan fasilitas publik yang meliputi jalan raya, jembatan, bandar udara, metro (kereta bawah tanah), Avrupa Tüneli (Tol bawah laut—yang membelah Selat Bosphorus) dan museum-museum yang menyimpan
nilai wisata sejarah budaya.

Meskipun demikian, banyak juga sisi lain yang juga terus menjadi sorotan publik. Misalnya saja, penangkapan ribuan orang termasuk hakim, jaksa, dosen dan polisi yang diduga terlibat dalam kudeta 15 Juli yang lalu. Situasi ini berimplikasi negatif terhadap independensi yudikatif Turki yang merosot ke posisi 151 dari 180 negara di dunia. Pihak pemerintah Turki meyakini bahwa Fethullah Gülen adalah aktor dibalik kudeta Juli kemarin. Seperti yang disampaikan oleh Ahmet Kasim Han, pakar politik dari Kadir Has University kepada BBC, “parlemen yang bertindak sebagai pengimbang akan
segera dihapus.” Konteks referendum Turki adalah Referendum Obligatoir. Artinya, prosesi ini harus terlebih dahulu mendapat persetujuan langsung dari rakyat sebelum suatu undang-undang tertentu diberlakukan. Persetujuan dari rakyat mutlak harus diberikan dalam pembuatan suatu undang-undang yang mengikat seluruh rakyat karena dianggap sangat penting. 

Sebanyak 55,319,222 pemilih akan berpartisipasi dalam referendum 16 April 2017. Dari jumlah tersebut pemilih yang berusia 18 tahun sebanyak 1,269,282. Sebagai catatan tambahan, kurang lebih tiga juta pemilih yang berada di luar negeri, tersebar di 57 negara telah menggunakan hak suaranya pada 27 Maret-9 April lalu. Untuk memaksimalkan prosesi referendum 2017 ini, sebanyak 167,140 kotak suara telah disebar ke seluruh Turki, dan sebanyak 461 berada di lembaga pemasyarakatan (penjara). Untuk waktu pemilihan, akan diberikan dari jam 8 pagi hingga 5 siang. Sedangkan untuk wilayah seperti Adıyaman, Diyarbakır, Mardin, Şamlıurfa, Trabzon dan daerah sekitarnya akan dimulai dari jam 7 pagi hingga jam 4 siang (penyebutan ini karena sekarang adalah musim semi, siang lebih panjang dari malam). Sedangkan kampanye referendum sudah harus berakhir pada 15 April 2017 pada jam 6 siang. Ketentuan ini sesuai arahan Dewan Pemilihan Tinggi (Yüksek Seçim Kurulu).

Di luar referendum tersebut, juga masih banyak pekerjaan pemerintahan Turki. Gelombang pengungsi dalam jumlah yang besar tentu saja akan menjadi polemik sosial di masa yang akan datang. Keinginan Turki untuk menjadi anggota penuh Uni Eropa sejak resmi ditetapkan sebagai kandidat pada 12 Septemer 1963 sampai sekarang juga belum direstui. Menarik untuk ditunggu hasil referendum 16 April 2017 ini: apakah mampu merubah hasil referendum 1982 yang masih berlaku hinga hari ini di Turki?


Menerka Hasil Referendum Turki
Oleh: Moddie Alvianto Wicaksono (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Timur Tengah, UGM)

Setelah era Mustapha Kemal Pasha berakhir, Erdogan diklaim sebagai pemimpin Turki yang memiliki jiwa Islamis (Kanra, 2009:35). Erdogan seakan menjadi oase setelah 80 tahun Turki bukan dipimpin oleh pemimpin Islamis. Mulanya, ia adalah Perdana Menteri yang menjabat dari tahun 2003-2014. Namun semenjak tahun 2014, Erdogan berhasil terpilih menjadi presiden melalui pemilihan langsung. Kepemimpinan Erdogan sejatinya telah teruji sejak tahun 1994. Saat itu, Erdogan terpilih menjadi walikota Istanbul. Pelbagai sektor kehidupan seperti ekonomi dan pariwisata digarap dengan baik. Salah satunya penataan kota Istanbul hingga menjadi salah satu destinasi wisata terbaik di dunia. Selain itu, banyak pengangguran yang dipekerjakan olehnya sehingga mengurangi tingkat pengangguran di Istanbul (Eligur, 2010:76).
Meroketnya nama Erdogan membawa berkah bagi partainya yaitu Justice and Development Party (AKP) sehingga membuat ia bersama partainya bisa memegang pucuk kepemimpinan pemerintahan Turki baik sebagai perdana menteri maupun presiden. Ujian Erdogan dan Turki baru dimulai pasca meletusnya krisis Arab Spring yang terjadi di Tunisia, Yaman, Mesir, dan Suriah pada tahun 2011. Perisitiwa Arab Spring ditengarai menyebabkan krisis kemanusiaan di Timur Tengah dan menghasilkan gelombang imigran yang berlebihan. Gelombang imigran paling banyak terdiri dari Suriah. Hal ini tak mengherankan karena secara geografis Suriah berbatasan langsung dengan Turki. Tercatat hingga saat ini 3 juta pengungsi mencari suaka ke wilayah Turki. Selain itu, kemunculan ISIS dan percobaan kudeta terhadap dirinya semakin menguatkan pemerintahan Erdogan untuk segera mengubah konstitusi dan melaksanakan referendum.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh lembaga QU4RO Strategis and Consulting, sejatinya isu referendum sudah terjadi sejak tahun 1961. Turki telah melakukan polling sebanyak 5x mengenai referendum konstitusi yaitu pada tahun 1961, 1982, 1987/1988, 2007, dan 2010.
C:\Users\mogie\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\Screenshot_2017-04-07-09-06-32-1.png
[Hasil Referendum Turki 1961-2010. Sumber: QU4TRO]

Hasilnya cukup mengejutkan. Ternyata sejak tahun 1961, masyarakat Turki telah menginginkan referendum konstitusi. Pemilih ‘yes’ selalu mengalahkan pemilih ‘no’ dengan marjin yang cukup besar kecuali pada tahun 1987. Dengan adanya rentetan sejarah polling ini akan justru melegitimasi keinginan pemerintahan Erdogan untuk segera melakukan referendum. Selain QU4TRO, ada beberapa lembaga sejenis semacam Gezici, ORC dan MetroPoll yang telah melakukan polling serupa sejak awal 2015. Meskipun pada mula tahun 2015, pemilih NO masih mendominasi dengan perolehan 76% namun sampai dengan awal Januari ternyata pemilih YES berbalik mencapai 62%. Ini menjadi awal positif bagi pemerintahan Erdogan untuk melanggengkan referendum.
Ada 18 pasal yang rencananya akan diubah ketika referendum berhasil. Dari 18 pasal, ada beberapa pasal yang menjadi titik poin penting perubahan bagi pemerintahan Erdogan. Diantaranya sebagai berikut:
  1. Presiden akan menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
  2. Posisi Perdana Menteri akan dihapuskan kemudian akan diganti dengan wakil presiden.
  3. Masa jabatan presiden dibatasi selama 2 periode (1 periode = 5 tahun)
  4. Pemilihan presiden dan legislatif akan diberlakukan tiap 5 tahun dan dijadwalkan di hari yang sama.
  5. Legislatif bisa menurunkan presiden asalkan syarat voting mencapai 2/3 dari jumlah legislatif.
Melihat rencana gubahan konstitusi, Turki tampak ingin meniru sistem demokrasi yang sudah diimplementasi beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Indonesia. Hal ini sebenarnya tak mengherankan ketika Turki ingin meniru sistem kedua negara tersebut karena adanya hubungan baik secara ekonomi atau politik terjalin dengan harmonis. Tentunya, pemerintahan Erdogan pun menilai hingga saat ini sistem demokrasi yang dijalankan kedua negara tersebut paling baik untuk dicontoh.
Pro-Kontra Referendum
Seiring berjalannya waktu menuju referendum, masyarakat Turki terbelah menjadi dua bagian yaitu antara kubu pro dan kontra. Kubu pro berpendapat bahwa kampanye Erdogan akan membawa kestabilan dan kemoderenan sehingga mengubah wajah Turki menjadi “New Turkey”. Masifnya gerakan ISIS, serangan dari kelompok Kurdi, gelombang imigran hingga sulitnya Turki masuk menjadi bagian dari Uni Eropa menjadi alasan kuat bagi kelompok pro yang digawangi oleh pemerintah. Alasan terakhir menjadi poin penting karena sudah menjadi rahasia umum jika Turki ingin sepenuhnya menjadi bagian Eropa.
Sedangkan kubu kontra menganggap bahwa jika Erdogan berkuasa penuh maka ketakutan yang terbesar adalah membawa Turki menjadi negara Islamis. Selain itu, pemerintahan Erdogan diduga melakukan nepotisme berlebihan dan juga dianggap telah menyegel kebebasan pers. Beberapa surat kabar dianggap memberitakan hal buruk kepada pemerintahan Turki. Hal ini yang menjadi alasan kuat untuk mengkudeta Turki walaupun pada akhirnya gagal. Ini jelas paradoks karena disaat demokrasi menjunjung kemerdekaan berpendapat malah yang terjadi represi mengerikan terhadap pers.
Pertanyaannya adalah apakah pemerintahan Erdogan berhasil melanggengkan kekuasaannya? Atau apakah kekuasaan Erdogan justru dihentikan oleh kubu kontra? Menarik untuk ditunggu dan disimak!

Perjalanan Referendum dan Redefinisi Demokrasi di Turki
Oleh: Hadza Min Fadhli Robby (Tim Editor Turkish Spirit) 

Demokrasi Turki akan melalui kembali salah satu titik nadir dalam perjalanannya pada 16 April nanti. Secara garis besar, referendum ini akan meminta persetujuan warga negara Turki atas proposal amandemen konstitusi yang telah disusun oleh Komisi Konstitusi Parlemen Turki berisi 18 pasal yang berkisar tentang perubahan sistem pemerintahan dan pengubahsuaian fungsi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di Republik Turki. Adanya perubahan sistem pemerintahan ini tentu saja bukan merupakan sebuah hal yang sederhana, namun sebuah tahapan yang radikal dan fundamental bagi kelanjutan politik Republik Turki yang usianya mendekati satu abad.

Referendum bukan hal baru bagi warga negara Turki, bahkan dalam jangka waktu satu dekade warga negara Turki sudah mengalami dua kali referendum pada tahun 2007 dan 2010. Sejarah panjang referendum di Turki sebenarnya sudah bermula sejak tahun 1961.  Menarik untuk melihat bahwa beberapa kali referendum di Turki terjadi langsung setelah berlangsungnya kudeta militer. Proses referendum di Turki diawali pada tahun 1961 oleh pemerintahan baru yang dipimpin oleh Cemal Gürsel. 

Referendum selanjutnya, yakni pada tahun 1982, juga terjadi setelah peristiwa kudeta tahun 1980 yang dipimpin oleh Jenderal Kenan Evren. Referendum kali ini membahas soal penggantian Konstitusi 1961 yang dianggap tidak berlaku lagi oleh pihak junta, sehingga pihak junta dan pemerintah sipil bersama-sama merancang sebuah konstitusi baru yang dianggap sesuai dengan agenda stabilisasi politik dan ekonomi Turki.

Walaupun Konstitusi 1982 mengandung beberapa pasal yang mendorong proses demokratisasi dan pengadopsian norma hak asasi manusia, beberapa pihak menganggap bahwa Konstitusi 1982 masih mengandung banyak anasir-anasir anti-demokratik di dalamnya, seperti misalnya adanya supremasi militer atas sipil dan pembatasan terhadap beragam hak sipil dan hak sosial-politik. Konstitusi 1982 juga tidak dikonsultasikan dan dibicarakan secara terbuka oleh pihak junta dan partai penguasa pada masa itu. 

Seiring dengan berjalannya proses demokratisasi dan liberalisasi pasar Turki pada pertengahan dekade 1980-an, Turki mulai mengubahsuaikan beberapa pasal dalam Konstitusi 1982, seperti misalnya pelarangan hak politik bagi beberapa politisi yang dianggap provokatif oleh pihak junta. Namun, keresahan berbagai pihak dari beragam spektrum ideologi terkait Konstitusi 1982 masih tersisa, bahkan argumen tentang amandemen Konstitusi 1982 makin mewacana pada tahun-tahun setelah terjadinya kudeta pos-modern pada 1997.

Setelah naiknya AKP ke tampuk kekuasaan pada tahun 2003, AKP sebagai partai yang pada mulanya memiliki pragmatisme politik dan program demokratisasi yang terstruktur menjadikan reformasi dan amandemen Konstitusi 1982 sebagai salah satu agenda utama politik partai. Adanya ambisi AKP untuk mereformasi dan mengamandemen Konstitusi 1982 didasari oleh dua hal: pertama, ambisi Turki untuk menjadi negara anggota Uni Eropa dan mengikuti standar-standar yang ditetapkan oleh Uni Eropa; kedua, upaya untuk meredupkan pengaruh dan warisan ancien regime yang terdiri dari kelompok tentara dan Kemalis.

 Dalam upayanya untuk mereformasi Konstitusi 1982, Turki yang berada dibawah kendali AKP membentuk sebuah komisi  yang dinamakan sebagai ‘Komisi Konstitusi Sipil’ yang terdiri dari politisi dan pakar hukum konstitusional yang ditugaskan untuk membuat draf konstitusi. Namun, draf konstitusi ini tidak mendapat sambutan luas dari masyarakat karena kerja komisi dianggap tidak terbuka dan transparan.

Tak lama kemudian, Turki kemudian mengadakan referendum pada tahun 2007 yang membahas tentang ‘pemilihan Presiden secara langsung’. Referendum 2007 diterima secara luas oleh masyarakat Turki, karena pemilihan Presiden (meskipun jabatannya relatif simbolik dalam sistem parlementer) dianggap sebagai kesempatan baru dalam eksperimentasi demokrasi di Turki. Namun, pihak oposisi yang menolak Referendum 2007 menganggap bahwa pemilihan Presiden langsung dapat dijadikan sebagai alat bagi penguasa untuk melakukan manuver dalam merebut kekuasaan yang lebih besar lagi. 

Adanya Referendum 2007 ini menjadi awalan bagi Turki untuk menjalankan amandemen konstitusi yang lebih komprehensif lagi. Partai penguasa AKP kemudian mengagendakan referendum pada tahun 2010 dengan pembahasan amandemen konstitusi yang jauh lebih luas, mencakup masalah-masalah mulai dari pengarusutamaan norma hak asasi manusia hingga masalah pengaturan lembaga yudisial. Referendum ini diperdebatkan secara cukup sengit antara penguasa dan oposisi, dimana penolakan terhadap referendum lebih kuat menggaung dibandingkan sebelumnya. Namun, karena adanya harmoni antara amandemen konstitusi dengan nilai-nilai Uni Eropa, referendum amandemen konstitusi berhasil dimenangkan kembali oleh AKP dan oposisi secara konsekuen menerima hasil referendum tersebut.

Kini, konteks politik, sosial-masyarakat dan ekonomi sudah berubah di Turki. Tak seperti 10 tahun lalu, Turki menghadapi lingkungan domestik, regional dan internasional yang lebih kompleks dari sebelumnya. Beragam peristiwa yang memiliki dampak besar telah dilalui Turki dengan susah payah, mulai dari gelombang Arab Spring, rangkaian protes Gezi Park, konflik Suriah, krisis diplomatik dengan negara-negara Uni Eropa serta percobaan kudeta 15 Juli 2016. Referendum amandemen konstitusi yang akan berlangsung 16 April 2017 berkembang dalam lingkup kompleksitas tersebut. 

Seperti yang telah disebutkan singkat di atas, referendum amandemen konstitusi hendak menetapkan sebuah langkah radikal yang dapat mengubah politik Turki untuk selamanya, yakni dengan mentransformasi sistem parlementer ke presidensial. Selain itu, ada pula pasal-pasal yang membahas tentang perluasan peran parlemen dan pengurangan pengaruh militer secara drastis dalam perlembagaan politik dan peradilan Turki. Langkah radikal ini diambil oleh Turki dengan satu alasan, dalam bahasa partai penguasa AKP, untuk menetapkan Turki pada jalan yang semestinya. 

Mengambil alasan ketidakefektifan sistem parlementer dalam penentuan dan pelaksanaan keputusan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya serta kekhawatiran akan kudeta-kudeta susulan, AKP beserta partai mitra mencoba untuk membangun sistem yang dianggap tangguh dalam menghadapi kompleksitas kedepannya.  Menurut AKP, dengan sistem yang tangguh, permasalahan di tingkat nasional, regional dan internasional akan dijawab secara lebih tegas dan jelas, tanpa perdebatan yang panjang.  

Di sisi lain, referendum kali ini memang bukan referendum yang mudah bagi AKP, sebab oposisi yang dipimpin oleh CHP dan HDP memiliki kontra-argumen yang cukup kuat dan oposisi juga didukung oleh segmen masyarakat yang datang dari beragam ideologi, mulai dari Islamis (Saadet Partisi) sampai komunis. Bahkan, beberapa faksi dari partai pendukung amandemen konstitusi juga turut ada dalam barisan oposisi. Pihak oposisi berpendapat bahwa amandemen konstitusi merupakan sebuah keharusan untuk membangun sebuah sistem politik yang lebih sipil dan demokratis, namun adopsi sistem presidensial bukanlah solusi bagi Turki.

 Oposisi mengkhawatirkan suatu kondisi yang disebut sebagai kuasa satu-orang yang akan berdampak negatif bagi proses demokratisasi Turki yang telah berlangsung sedemikian panjang. Selain itu, oposisi juga memandang bahwa pasal-pasal yang diusulkan dalam referendum akan lebih banyak membantu konsolidasi kekuasaan penguasa, bukannya konsolidasi demokrasi dan masyarakat sipil secara umum di Turki. Ada juga kekhawatiran yang muncul dari pihak kontra bahwa sentralisasi kekuasaan yang makin kuat akan mengakibatkan perpecahan masyarakat serta instabilitas berkepanjangan.

Di balik semua argumen tentang optimisme dan kekhawatiran terkait referendum, pakar politik Turki, Emin Fuat Keyman, memberikan sebuah pernyataan yang bijak. Keyman menyatakan bahwa masa depan demokrasi dan pemerintahan Turki sebenarnya bukan pada masalah adopsi sistem presidensial atau parlementer, bukan pada perubahan sistem secara radikal, namun pada penguatan demokrasi yang berbasis pada perimbangan dan pengawasan antar sistem yang baik. 

Hasil referendum sementara yang menunjukkan suara 'Iya' yang berbeda amat sedikit dengan suara 'Tidak' akan menjadi tes tersendiri bagi demokrasi Turki, terutama bagi pihak penguasa. Pihak penguasa akan mempunyai tugas berat untuk melakukan rekonsiliasi dan negosiasi dengan pihak oposisi untuk menyepakati rencana kedepan terkait perubahan sistem pemerintahan. Karena perubahan yang akan disepakati merupakan sebuah perubahan radikal, maka proses transisi dan transformasi ini akan memakan waktu dan tenaga yang besar. 

Pimpinan partai oposisi, Kemal Kılıçdaroğlu telah menyatakan bahwa dirinya siap melakukan negosiasi dengan pihak penguasa terkait dengan hasil referendum dan ketika negosiasi ini selesai, baik pihak penguasa dan oposisi akan bersama-sama mengeluarkan sebuah deklarasi terkait rekonsiliasi dan kesepakatan tentang bagaimana perubahan sistem pemerintahan ini akan dikawal bersmaa. 

Harapan terakhir, semoga Turki dapat melewati semua proses politik ini dengan baik, deliberatif dan demokratis. 


Formula One akan Kembali Hadir di Turki

13.22.00 Add Comment

Agustus 2005 sebanyak 20 pembalap menjajal Sirkuit Intercity Istanbul Park

[Lintasan Formula One di Istanbul. Foto: https://tr.pinterest.com/pin/6333255698221005/]
Pada Selasa (10/4) Pemerintah Turki melalui Presiden Recep Tayyip Erdoğan telah melakukan pertemuan dengan direktur utama Formula One, Chase Carey di Ankara. Dalam acara yang berlangsung di Istana Kepresidenan, Ankara tersebut turut hadir juga Menteri Olahraga Turki Akif Çağtay Kılıç dan Ali Vural Ak sebagai direktur sirkuit Istanbul Park pada tahun 2005-2011.

Menurut beberapa informasi yang dihimpun oleh media di Turki, dalam pertemuan tersebut belum ada penandatanganan kesepakatan. Akan tetapi, semua hal telah siap dan hanya menunggu waktu untuk melakukannya.

“Kami telah melakukan pembicaraan. Hanya menunggu kesepakatan dan penandatangan. Turki akan segera kembali menjadi tuan rumah untuk Formula One di Istanbul,” ujar Ali Vural Ak.

Tahun sebelumnya Turki pernah menjadi tuan rumah ajang bergengsi Formula One. Pada 21 Agustus 2005 sebanyak 20 pembalap menjajal Sirkuit Intercity Istanbul Park yang berlokasi 30 mil dari pusat kota. Lokasi sirkuit ini berada di sisi Asia Kota Istanbul. Kurang lebih sepuluh ribu penonton memadati momen bersejarah tersebut untuk menyaksikan secara langsung aksi pembalap kelas dunia seperti Kimmi Raikkonen yang saat itu bergabung dengan tim McLaren’s. Pada saat itu hadir juga adalah petinju legendaries Mike Tyson sebagai tamu di tribun penonton.

Namun sejak 2012, Formula One tidak mencantumkan negara Turki dalam jadwal kalender kejuaraannya. Setelah pembicaraan ulang antara kedua belah pihak di atas, pecinta Formula One bisa berharap hadirnya kompetisi tersebut di Istanbul dalam waktu mendatang (didit/ts).
  

Sumber: Dailysabah

Ekspansi Roti Rakyat Istanbul

18.49.00 Add Comment

Roti adalah makanan yang sangat lekat dengan konsumsi masyarakat Turki

[Salah satu gerai roti milik İHE]
Sebagai kota terbesar di Turki dengan populasi penduduk yang mencapai 14,7 juta jiwa (per Desember 2016), Istanbul selalu menghadirkan hal-hal yang menarik. Wisata sejarah dan budaya merupakan aspek yang sangat utama dan mudah ditemui di tanah bekas Kesultanan Usmani ini. Selain wisata tersebut, pemerintah kota Istanbul juga memberikan kemudahan dan subsidi kepada masyarakatnya, salah satunya adalah roti yang dikenal dengan nama halk ekmek. Roti adalah konsumsi utama masyarakat Turki. Meskipun demikian, ada juga jenis makanan lain seperti nasi ataupun masakan lokal yang umumnya terbuat dari tepung gandum.

Pada Februari 2017 lalu, perusahaan roti milik pemerintah, İstanbul Halk Ekmek (İHE) merilis telah membuka sebanyak 564 büfe (kios/gerai) di seluruh sudut kota dan pelosok İstanbul. Dalam tagline “Sağlıklı Ekmek, İstanbul Halk Ekmek 564 Büfe ile Hizmetinizde!” (Roti sehat, IHE melayani dengan 564 gerai), pemerintah berusaha memberikan pelayanan yang terbaik dan terjangkau untuk para konsumennya. Halk Ekmek juga tersedia di seluruh kota besar di Turki. Pemerintah daerah masing-masing menyediakan gerai dan pelayanan penjualan roti dengan harga rata-rata separuh lebih murah dari harga roti produksi umum.

Sebagai informasi, ada banyak gerai yang juga menjual roti. Dan rata-rata adalah milik perorangan ataupun perusahaan swasta.

Sebagai perusahaan yang telah berdiri sejak Februari 1971, İHE kini semakin dekat dan melayani konsumsi roti di İstanbul. Dengan tiga pabrik yang ada di wilayah Edirnekapı, Cebeci, dan Cevizli, gerai İHE kini mudah ditemui di beberapa wilayah dan sekitar permukiman warga. Juga dalam varian dan olahan yang beragam. 

*İstanbul Halk Ekmek : 


Didit Haryadi
Pimpinan Redaksi Turkish Spirit. Mahasiswa master program Sosiologi di Istanbul University. Person In Charge untuk Indonesia Turkey Research Community (ITRC) di Istanbul.

Musta PPI Turki 2017

18.21.00 1 Comment

Tim TS yang hadir adalah Didid Haryadi (Istanbul), Roida Hasna Afrilita (Canakkale), Sonia Dwita (Konya) dan Billy Briliant (Izmir).

[Foto Didid Haryadi]
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Turki menggelar acara Musyawarah Tahunan (Musta) dengan tema Kehangatan dalam Kebersamaan di Kota Bursa pada 3-5 Februari 2017. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk melantik ketua PPI Turki dan anggota Majelis Perwakilan Anggota (MPA) terpilih periode 2017/2018.

Sebagai tuan rumah, PPI Wilayah Bursa juga menyelenggarakan Simposium Internasional pada hari pertama dengan tema Endonezya ve Türkiye Arasında Gelişen Kültürlerin Canlandırılması ve Karşılıklı Güvenirlik. Ada pun yang menjadi pembicara adalah Herry Sudrajat (Konjen RI di Istanbul), Abdülkadir Karlık (Wakil Walikota Bursa) dan Yrd. Doç. Dr. Fikri Pala (Wakil Rektor Uludağ University).

Ratusan pelajar yang tersebar dari berbagai PPI wilayah di Turki hadir dan ikut berpartisipasi dalam acara simposium yang dilaksanakan di gedung Prof. Dr. Mete Cengiz Kültür Merkezi, Uludağ Universitesi. Turut hadir juga Dubes RI untuk Turki, Wardana beserta rombongan dari KBRI Ankara. 

Dalam sambutannya, Wardana menghimbau agar para pelajar Indonesia di Turki bisa terus mempromosikan Indonesia lewat bidang akademik dan budaya. “Hubungan bilateral antara Turki dan Indonesia sangat baik. Salah satunya adalah di bidang budaya. Oleh karena itu, diharapkan dapat terus diapresiasi,” pesanya.

Pada hari kedua, agenda Musta membahas Laporan Kerja kepengurusan PPI Turki 2016 oleh ketua demisioner Azwir Nazar dan dilanjutkan dengan sidang komisi dan pelantikan Edy Miranto sebagai ketua PPI Turki periode 2017/2018.

Beberapa rekomendasi dan keputusan telah dihasilkan dan selanjutnya akan direalisasikan dalam satu tahun ke depan. Salah satunya menunjuk tuan rumah Musta 2018 yang akan diselenggarakan di kota Izmir.
[Tim TS di Musta 2017]
Acara ini juga sekalian menjadi ajang silaturahim dan kopdar tim Turkish Spirit (TS) yang menyebar di seluruh Turki. Tim TS yang hadir adalah Didid Haryadi (Istanbul), Roida Hasna Afrilita (Canakkale), Sonia Dwita (Konya) dan Billy Briliant (Izmir).

Hari terakhir, Minggu siang, seluruh peserta Musta mengikuti kegiatan piknik ke Gunung Uludağ (didid/ts). 

Tentukan Negara Tujuan, Pelajari Bahasanya

22.00.00 3 Comments

Beasiswa YTB. Berikut ulasan wartawan Harian Jogja, Wulan Agustina

[Foto dari Harian Jogja, 29/01/2017]
Melalui surat elektronik, Bernando J. sujibto alias Bje, mahasiswa asal Sumenep, Madura yang saat ini belajar di Turki menuturkan pengalamannya kepada Harian Jogja.

Bje adalah seorang alumni mahasiswa S1 Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Sekarang sudah menyelesaikan studi master jurusan Sosiologi pada Department Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Selcuk, Konya, Turki melalui beasiswa YTB (Presidency for Turks Abroad and Related Communities).

“YTB adalah beasiswa yang dikelola langsung oleh pemerintah Turki. Atau singkatannya bisa disebut beasiswa pemerintah Turki,”ujarnya, Sabtu (28/1). Beasiswa ini meliputi semua jenjang pendidikan S1, S2, S3 dan penelitian. Yang menarik, YTB menyediakan asrama gratis, biaya kuliah dan living cost atau biaya hidup bulanan.

Fasilitasnya memang menarik, tapi tuntutannya terhadap calon penerima beasiswa juga cukup tinggi. “Semua yang mendaftar dan terpilih diwajibkan mengikuti kursus kelas bahasa Turki. Karena salah satu target dan tujuan dari Beasiswa YTB adalah "memaksa" mahasiswa mengetahui bahasa dan kebudayaan Turki,” katanya.

Meskipun di beberapa fakultas pengantar kuliah memakai bahasa Inggris, Bje menyebutkan, mahasiswa YTB diwajibkan untuk belajar bahasa Turki terlebih dahulu selama satu tahun. “Saya memang ingin dan bercita-cita studi lanjutan di luar negeri. Pilihan saya Kuba, Turki dan India. Akhirnya terpilih di Turki. Turki memang menjadi minat saya terutama dalam konteks karya-karya kebudayaan dan sastra mereka,” ucap Bje.

Menurut Bje, beradaptasi di Turki bukanlah hal yang sulit. Secara agama dan kultur bisa dibilang dekat dengan Indonesia, sebagai mayoritas Islam. “Paling lebih ke karakter dan pola hidup serta behavior saja,” katanya.

Bje menjelaskan bahwa Turki bukanlah negara pertama yang pernah ia kunjungi. Sebelumnya ia pernah short course ke Amerika Serikat dan Australia. Secara mental dan cara adaptasi ia bisa mengatasi. Yang terpenting menurutnya adalah sikap tahu diri. “Untuk Turki, hati-hati dengan sikap politik personal. Karena di sini sangat kuat ideologi politik mereka,” ujarnya.

“Ada beberapa kiat yang dominan menurutnya untuk bisa lolos kuliah di luar negeri dengan beasiswa. Menurut Bje di antaranya adalah nilai akademik harus kuat dan semakin tinggi semakin diperhitungkan. Tetapi untuk hal tersebut menurutnya bukanlah menjadi syarat utama. Kedua, karya dan kegiatan-kegiatan yang nyata.

“Saya melihat ini aspek dominan juga. Mereka yang berkarya baik tulisan, kegiatan sosial, karya akademik penelitian, atau semacam karya kreatif lainnya sesuai dengan jurusan dan bidangnya akan mendapatkan perhatian lebih. Kalau saya yang paling ditonjolkan adalah karya-karya tulisan seperti buku dan penelitian, di samping itu kegiatan-kegiatan sosial yang saya garap dan inisiasi bersama komunitas-komunitas,” ucapnya.

Dan yang terpenting, lebih ke teknis syarat beasiswa adalah Letter of Intent (Surat Pernyataan Keinginan). “Semakin kuat dan meyakinkan akan semakin oke. Rencana riset dan rekomendasi juga sangat penting, semakin kuat, semakin bagus.”
Semua yang mendaftar dan terpilih diwajibkan mengikuti kursus kelas bahasa Turki. Karena salah satu target dan tujuan dari Beasiswa YTB adalah "memaksa" mahasiswa mengetahui bahasa dan kebudayaan Turki
LPDP Edufair

Jalur lain yang bisa ditempuh mahasiswa dari Jogja untuk kuliah ke luar negeri adalah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Setiap tahun LPDP Edufair menggelar pameran pendidikan alias Edufair. Tahun ini LPDP akan diadakan di beberapa kota.

“Saya ingin ikut LPDP Edufair karena ada keinginan untuk kuliah ke luar negeri. Walaupun engga tahu mau kuliah lagi atau kerja. Tapi kan hal seperti itu tidak bisa mendadak. Jadi saya mempersiapkannya dari sekarang,” ucap Nur Fitriatus Shalihah salah satu mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang sudah mendaftar dan mendapatkan konfirmasi berupa tiket LPDP Edufair kepada Harian Jogja.

Menurut Fitri, akan tersedia banyak stand di LPDP Edufair 2017. Ada stand perwakilan universitas-universitas luar negeri, juga terdapat tes TOEFL/IELTS yang dapat diperoleh secara gratis, juga terdapat seminar. “Jadi mungkin akan betah di sana seharian,” katanya.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari laman resmi LPDP Edufair 2017, event tersebut akan dilaksanakan di tiga kota, yaitu Jakarta pad 31Januari 2017 bertempat di Dhanapala Building Minstry Finance, Surabaya pada 2 Februari 2017 di Airlangga Convention Center, dan terakhir Yogyakarta, 4 Februari 2017 di Sportorium UMY. Ketiga event tersebut akan dilaksanakan mulai pukul 07.30 hingga 18.00. Dengan berbagai konten acara seperti Scholarship and Higher Education Expo, Inspiring Talkshow, TOEFL/IELTS Prediction Test, juga Art Performances.

Untuk mengikuti LPDP EduFair, peserta wajib melakukan registrasi terlebih dahulu melalui lpdpedufair.com. Registrasi dibuka menjadi 3 gelombang. Gelombang pertama dibuka mulai Minggu, 15 Januari  hingga Sabtu, 21 Januari 2017. Gelombang kedua dibuka mulai Selasa, 24 Januari hingga Kamis, 26 Januari 2017, dan Gelombang ketiga yang akan dibuka Minggu, 29 Januari hingga 30 Januari 2017. “Jika sudah mendapatkan e-mail balasan dari LPDP EduFair berupa tiket berarti peserta tersebut sudah terdaftar,” begitu yang dikatakan panitia LPDP EduFair via twitter. Tiket tersebut adalah tiket masuk ke LPDP EduFair.

Saat ini jumlah peserta yang terdaftar pada Gelombang I dan II untuk kota Jakarta mencapai 15.285 orang, Surabaya mencapai 8.350 orang, dan Yogyakarta mencapai 13.890 orang. Dan hanya tersisa 5.000 tiket untuk Gelombang ketiga.

Panitia juga menghimbau untuk semua peserta agar mengikuti segala informasi di web maupun media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram LPDP edufair resmi. Untuk mengetahui berbagai informasi terbaru dan pertanyaan terkait LPDP EduFair yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.

Incar Negara Eropa

Ibnu Muslim Putra Darmawan mahasiswa di salah satu universitas swasta di Jogja menuturkan selama ini dirinya berupaya keras untuk memperoleh beasiswa demi melanjutkan studinya di luar negeri. “Kalau usaha sih jelas banyak, terutama syarat fundamentalnya yaitu bahasa Inggris karena engga bisa dipungkiri poin ini merupakan salah satu syarat utama,” kata Ibnu.

Untuk beasiswa yang ia minati point standar mencapai angka 577 untuk TOEFL dan 6.5 untuk IELTS. Angka yang dirasa cukup tinggi tersebut tentu membuat Ibnu banyak melakukan hal yang dapat meningkatkan poinnya. “Saya biasanya mencari info melalui internet dan beberapa kenalan yang sudah lolos beasiswa,” ucapnya.

Ia mengaku telah dua kali mencoba menembus program beasiswa. Yang pertama yakni melalui LPDP, sedangkan yang kedua yakni Erasmus+. Negara-negara di Skandinavia seperti Filandia, Swedia, Denmark, atau Norwegia menjadi impian bagi Ibnu untuk melangkahkan kakinya ke sana. Menurutnya, negara-negara tersebut dari sisi kualitas tidak kalah dengan negara Inggris maupun Belanda.

“Selain itu, sepertinya lingkungannya pun mendukung bagi saya secara pribadi untuk belajar dengan nyaman,” ujar Ibnu.

Meski telah berkali mencoba, Ibnu tak pantang menyerah untuk meraih mimpinya mendapatkan beasiswa menuju eropa. “Faktor rejeki juga berpengaruh di sini, kalau belum rejeki juga sulit,” ungkap Ibnu.

Sumber tulisan: Harian Jogja