Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Masal Masal İçinde: Turki, Negeri Dongeng

18.49.00 1 Comment

"Dongeng sebagai makna lugas dan leksikal, cerita yang diwariskan kepada anak cucu. Bahkan di Turki, kepada para pelajar. Sesederhana membaca dongeng, fiksi yang laris dan menjadi kegemaran di Turki ternyata bisa berguna sebagai media ‘aktualisasi diri’."

(Buku: Masal Masal İçinde, Karya Ahmet Ümit. Foto: Goodreads)

Banyak orang mencoba membayangkan bagaimana sebenarnya wujud dari negara Turki, hingga mereka masuk pada kesimpulan tentang negara yang mirip seperti negeri dongeng. Hal ini disebabkan karena panorama alam yang sangat indah beserta jejak sejarahnya yang sangat mashur dan menjadi daya pikat yang luar biasa bagi para pelancong dan pelajar. Bahkan dewasa ini, Turki masih menjadi pilihan untuk destinasi utama wisata sejarah, arkeologi ataupun tentang riset ilmu pengetahuaan pada bidang sosial politik, kebudayaan, agama, budaya dan sastra.

Turki, selain perwujudan perkembangan dalam negeri yang cukup cepat, di dalamnya justru tersimpan hal-hal yang esensial. Ada dongeng yang lebih bermakna bagi banyak pemudanya. Dongeng sebagai makna lugas dan leksikal, cerita yang diwariskan kepada anak cucu. Bahkan di Turki kepada para pelajar. Sesederhana membaca dongeng, fiksi yang laris dan menjadi kegemaran di Turki ternyata bisa berguna sebagai media ‘aktualisasi diri’. Banyak yang tidak tahu dan tidak ingin tahu tentang hal-hal sederhana seperti ini. Padahal, justru dari sinilah individu hingga sebuah bangsa bisa belajar tentang negaranya. 

Sebuah buku dongeng Turki favorit yang terbit pada tahun 1995 berjudul “Masal Masal İçinde” pun memiliki pesan eksplisit yang demikian. Dongeng ini memiliki pesan yang mendalam agar kita keluar dan berkelana, mencari ilmu pengetahuan dengan melihat keadaan yang sebenarnya di berbagai tempat. Bertemu orang sampai tantangan yang berbeda-beda. Apapun gelar dalam diri kita, idealnya tidak harus membatasi proses untuk belajar. Justru yang lebih penting adalah terus mengasah simpati dan kepekaan, berpikir-bertindak sederhana namun tegas dan cerdas, serta meluruskan rasa percaya diri dan keingintahuan.

“Masal-masal İçinde” sendiri merupakan sebuah buku dongeng yang ditulis oleh penulis novel tersohor Turki, Ahmet Ümit. Ia merupakan novelis akhir abad 20 yang masih aktif dengan karya-karya yang terus saja dinanti. Pria kelahiran Gaziantep ini sudah menerbitkan banyak karya. Beberapa karya sastra Ahmet Ümit yang terkenal di antaranya adalah Sokağın Zulası (The Street's Secret Hiding Place, 1998), Sis ve Gece (Fog and Night, 1996), Kar Kokusu (The Fragrance of Snow, 1998), Beyoğlu Rapsodi (Beyoğlu Rhapsody, 2003), Kavim (Tribe, 2006). Secara umum, karya-karyanya bercerita tentang kehidupan sosial dan perenungan yang terjadi dalam masyarakat Turki.

“Masal” sendiri merupakan bahasa Turki yangg bermakna “dongeng”, sementara “içinde” berarti “di dalam”. Secara harfiah, Masal Masal İçinde bermakna ‘Di dalam dongeng-dongeng’. Cerita dalam dongeng ini menyimpan pesan yang besar, berjangka panjang, namun terkadang sering terlupakan. Buku ini adalah satu dari beberapa buku sastra wajib untuk pelajar SMA di Turki. Namun demikian buku ini tetap dapat dinikmati berbagai kalangan dan masyarakat umum. Untuk memotivasi para pelajar untuk menekuni bidang literasi, ada satu pesan yang selalu disampaikan oleh pengajar, "karena sastra tidak mengenal usia,” demikian kata seorang dosen bahasa Turki yang seperti umumnya mewajibkan mahasiswa berbagai jurusannya untuk membaca buku-buku sastra, termasuk dongeng.


“Masal Masal İçinde” pun dapat menjadi referensi untuk siapa saja yang ingin mengasah kemampuan bahasa Turki. Seperti karya-karya sastra lain di Turki, buku ini dapat menambah pengetahuan kosa kata dan skill sastra, karena gaya bahasa serta penggunaan Osmanlıca atau bahasa Turki lama masa Ottoman dalam beberapa bagiannya. 


Sonia Dwita
Bergabung dengan tim Turkish Spirit. Calon mahasiswi S1 Journalism Studies, Selçuk University, Konya, Turki. Saat ini sibuk menikmati kelas persiapan bahasa Turki. Pernah aktif menjadi jurnalis remaja di Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Concern dan turun tangan pada isu pendidikan dan lingkungan. Jatuh hati pada dunia seni khususnya musik, sejak belasan tahun silam. Sonia hobi menulis catatan harian juga puisi, kadang dibagi di blog pribadinya di sini.

Şanslı Kız

01.39.00 Add Comment

Ia selalu menganggap semua hal sebagai keberuntungan. Termasuk yang menurutku masuk dalam hitungan kesialan

[Gambar Zeynep Özatalay]
Aku mengikat tali sepatuku cepat-cepat sebelum kemudian menyambar tas samping yang tergeletak di lantai. “Aku pergi, Anne[1]!” teriakku tanpa menunggu jawaban. Kususuri tangga demi tangga dari lantai tiga menunju lantai dasar. Huff. Melelahkan. Inilah yang kulakukan tiap kali pergi ke luar. Apartemen kami tidak memiliki lift. Sesuatu yang membuatku mengeluh sepanjang waktu walaupun Anne selalu mengatakan bahwa ini baik untuk kesehatanku.

Kutepuk bahu kiri gadis berambut hitam lebat yang berdiri di samping pintu. “Hadi gidelim, kanka[2]!”

Ia membalasku dengan senyuman yang membuat sepasang lesung pipitnya terlihat. Itulah Marwa. Tak pernah mengeluh walaupun aku seringkali membuatnya terlambat datang ke kelas. Padahal, yang seharusnya terlambat itu Marwa, bukan aku. Aku selalu pulang ke rumah setelah kelas. Namun Marwa harus pergi bekerja di rumah makan kebab dari jam empat sampai sepuluh malam tiap haftaiçi[3] setelah kelas. Itulah sebabnya ia baru akan sampai di rumahnya pada pukul 23.00 atau 23.30 waktu Turki. Meski demikian, ia selalu mengatakan bahwa ia sungguh beruntung lantaran tidurnya selalu pulas karena kelelahan.  

Setelah saling mengecup pipi sebanyak tiga kali, aku dan Marwa pun segera berlari beriringan menuju stasiun kereta Izban yang terletak di antara hiruk pikuk Karşıyaka[4]. Karena jam kelas kami bersinggungan dengan jam para pekerja, mau tidak mau kami harus menyusup di antara kerumunan yang membuat waktu kami lebih terulur lagi. Aku dan Marwa berlarian menyusuri tangga panjang menuju ke terowongan tempat kami menunggu kereta Izban dan menabrak beberapa orang tua yang menyisakan gerutu panjang. Tepat ketika kaki kami berhasil menginjak baris terakhir tangga, kereta Izban yang hendak kami tumpangi tampak melaju pergi.
         
Off! Salak ya![5]” kupukul jidadku sebanyak tiga kali. Semua ini dimulai karena aku tidur terlambat kemarin malam lantaran sibuk menyusun rencana liburan ke kota Bodrum. Akibatnya, aku bangun kesiangan. Keterburu-buruanku menyebabkan sarapan yang sudah disiapkan Anne tidak tersentuh. Gara-gara itu, bukan hanya soal perut, kami juga ketinggalan kereta Izban. Tentu saja masih ada kereta berikutnya. Namun, siapa yang mau menunggu?

Kutemukan Marwa terkekeh-kekeh melihat perilakuku. “Sakin ol, kız![6] Baksana kanka! Kereta Izban tadi sangat sesak. Bisa jadi Izban berikutnya akan lebih sepi. Şanslıyız yani.[7]

Aku hanya mengernyitkan sebelah alis. Gadis aneh, gumamku. Ia selalu menganggap semua hal sebagai keberuntungan. Termasuk yang menurutku masuk dalam hitungan kesialan. Transportasi publik dari kawasan ramai seperti Karşıyaka tak pernah sepi, asal tahu saja.

Kami berdiri lumayan lama demi menunggu kereta Izban yang datang berikutnya. Huff! Perjalanan yang sangat panjang. Bayangkan! Dari Karşıyaka, kami harus melalui beberapa stasiun hingga sampai ke Halkapınar yang menghabiskan waktu sekitar 11 menit. Dari stasiun Halkapınar, kami harus ke luar dari kereta Izban dan berpindah ke kereta Metro arah Evka 3 untuk menuju stasiun Ege Üniversitesi. Itu belum termasuk waktu yang kami gunakan untuk berlarian berpindah tempat. Belum lagi, setelah sampai di stasiun Ege Üniversitesi, kami harus menyusun beberapa langkah cepat untuk sampai ke Fakultas Ilmu Komunikasi.

Benar saja, aku dan Marwa terlambat. Kami tidak diperbolehkan masuk. Kuatur nafasku dengan bersandar di dinding dekat pintu kelas. “Devamsızlıktan kalcaz, kız[8],” kataku seraya menatapnya nanar. Sekarang apalagi yang akan dikatakannya, he?

Marwa tersenyum, lagi. Ditepuknya bahuku beberapa kali. “Inshaa Allah enggak. Kita masih punya...,” tangannya tampak sibuk menghitung, “kita bisa bolos kelas maksimal dua kali lagi.”

Alis mata kananku semakin naik. Ia melanjutkan, “Yine şanslıyız biz. Kita bisa pergi sarapan sekarang. Kamu belum sarapan kan?”

Dasar aneh, gerutuku dalam diam.

Aku tak pernah bisa memahami bagaimana Marwa mampu mengambil sisi emas dari kesialan. Hatiku jadi bertanya-tanya, apakah ia tidak pernah bersedih, marah atau pun kecewa?

Setelah menyadari bahwa rupanya kami sudah terlalu lama berdiam diri di ambang pintu tanpa melakukan apa-apa, aku dan Marwa pun pergi ke Ziraat Cafe yang tidak jauh dari fakultas kami untuk sarapan.
         
Aku dan Marwa duduk di pojok cafe. Sibuk menikmati açma[9] dan çay[10] yang kami beli sambil mendengarkan alunan lagu-lagu Turki yang diputar dan berisiknya mahasiswa/i yang saling berseda gurau atau bermain tavla di sekeliling kami. Mataku berkeliling menatap satu per satu mahasiswa yang mulai ramai berdatangan layaknya kawanan semut dari arah pintu. Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang sudah kurencanakan sejak kemarin malam.

Setelah menelan gigitan açma isi keju terakhirku, dengan senyum selebar daun kelor, kuungkapkan niatanku pada Marwa untuk mengajaknya jalan-jalan sebelum vize[11] tiba. “Ke Bodrum yuk!”

“Bodrum?”

Aku mengangguk cepat dan menimpali, “Sebelum vize dimulai, sayang. Lihat deh!” Kubuka ponselku demi menunjukkan padanya beberapa foto kota Bodrum yang sudah kutelusuri semalam suntuk. Aku terus mengoceh tanpa menyadari bahwa Marwa mulai terisak. Mata dan hidungnya sangat merah. Tangannya yang gemetar hebat membuat çay yang sama sekali belum diteguknya tumpah mengenai meja. Kontan aku tercekat. Kupegang jemarinya yang mendingin, erat-erat. “Ne oldu?[12] Aku salah ngomong ya?”

Marwa berusaha menahan tangisnya. Namun gagal. Beberapa bulir air matanya berderai hebat. Kupegang bahunya erat-erat dalam kebingungan. Kami hening beberapa saat lamanya. Hanya isakan Marwa yang terdengar, di samping lagu-lagu Turki yang larut dalam keramaian kafe. Kuletakkan kepala Marwa ke bahuku dalam pelukan lantaran aku merasa keberadaan kami telah menarik perhatian beberapa pengunjung kafe.

Dentum detik bergerak sangat lambat rasanya. Marwa menarik kepalanya dan mulai bercerita. Menceritakan luka lama yang belum begitu kering dalam memori.

Semuanya bermula ketika kakek dan pamannya yang seorang tentara bertengkar dengan ayahnya yang seorang staff pengajar. Waktu itu Marwa masih tinggal bersama keluarganya di Aleppo, salah satu kota yang kini jadi antah-berantah di Suriah akibat perang. Kakek dan paman memaksa ayah Marwa untuk ikut membela negeri, konon. Namun ayah Marwa menolak dengan alasan bahwa ia adalah staff pengajar. Bukan tentara yang pandai bermain dengan senjata seperti kakek dan paman Marwa.

Marwa masih ingat jelas waktu itu. Ia, adik lelakinya Ali dan ibunya mendengarkan diskusi ayah, kakek dan pamannya di ruang tengah yang berakhir dengar pertikaian yang bertajuk teriakan, gertakan, dentum kursi ditendang dan kata-kata kasar hingga ia dan Ali terlelap. Ia tak tahu bagaimana akhirnya ayah mereka mampu meyakinkan kakek dan paman untuk tidak memaksanya ikut berperang.

Esok sampai beberapa hari berikutnya, bom jatuh di mana-mana. Suara tembakan dan ledakan mulai terbiasa didengar oleh Marwa sekeluarga. Bau anyir darah yang membungkus daging segar mudah didapati dimana-mana. Kakek, paman dan beberapa anggota keluarga Marwa meninggal akibat kekejaman yang tidak pandang bulu itu. Aleppo kampung halamannya sudah tidak aman. Kamis malam itu, pada tengah malam ketika semua orang terlelap, ayah membangunkan Marwa dan adiknya untuk cepat-cepat berkemas dan meninggalkan Aleppo. Marwa sama sekali tidak menyangka bahwa itu adalah malam terakhirnya untuk tidur di kasur kesayangannya; di ruangan yang biasanya ia habiskan untuk tidur, menonton film, membaca buku ataupun bercanda gurau dengan Ali, adiknya. Sama seperti apa yang dilakukan remaja dan anak-anak pada umumnya.

“Setelah melewati perbatasan Turki, kita akan pergi ke Bodrum. Dari Bodrum, kita akan pergi ke Pulau Kos. Dari sana, kita bisa pergi ke Athena naik ferry. Dari Athena, kita akan pergi  ke Italia, Prancis, lalu Inggris melalui terowongan Channel. Kita bisa mencari suaka di sana. Abi[13] punya kenalan di Inggris. Inshaa Allah mereka bisa membantu kita,” jelas ayah kepada ibu Marwa yang hanya memandangannya tanpa ekspresi. Kedua tangannya sibuk menimang-nimang Ali yang terus saja menangis. Sedangkan Marwa, ia hanya duduk terdiam di pojok truk yang mengangkut keluarganya. Membisu dengan air mata yang sudah kering di kedua belah pipinya. Masa depannya tampak buram. Apakah ia dapat menggapai cita-citanya sedangkan perjalanan panjang yang terjal dan melelahkan menghadang di hadapannya? Perjalanan yang mengharuskan ia meninggalkan sekolah, kampung halaman yang dicintainya dan segala sesuatu yang akan sangat ia rindukan suatu saat nanti. Mungkinkah...
         
Hampir dua bulan Marwa dan keluarganya menumpang di rumah orang Turki yang merupakan kawan ayahnya. Ia beruntung tidak perlu menderita di tenda pengungsi atau tercecer di taman bermain kota dengan hanya makan ekmek[14] dan yogurt setiap hari atau membiarkan ulat-ulat menggerogoti dagingnya yang semakin tipis.

Sore itu, mereka memperoleh kabar bahwa Marwa sekeluarga bisa menyeberang dari Bodrum ke Pulau Kos, Yunani melalui laut Ege pada tengah malam. Sebenarnya, Marwa dan ibunya sangat tidak menyukai jalur laut. Ah! Mereka benci semua jalur, sesungguhnya. Perjalanan mencari suaka sangat menguras tenaga dan peluh. Mereka hanya ingin kembali ke rumah mereka di Suriah andaikata tidak ada pertumpahan darah. Jika mereka memiliki pilihan, hidup sederhana di rumah sendiri akan jauh lebih luar biasa daripada menjadi pencari suaka di negeri yang kaya raya.

Sekitar pukul 02.00 malam waktu Turki, pelabuhan Bodrum sangat ramai oleh para pencari suaka yang hendak menyebrang dengan perahu karet ke Pulau Kos yang jaraknya 4 km lebih.

Marwa sudah mengenakan jaket pelampungnya saat itu. Sepasang tangannya memegang tas berisi dokumen dan pakaian ketika ibunya sibuk memasangkan jaket pelampung untuk Ali yang terus menangis. Gemericik air, tangisan anak-anak, teriakan para pencari suaka, aroma asam keringat dalam malam yang semakin pekat membuat kepala Marwa terasa sakit. Walau hanya 4 km, ia merasa takut. Perahu karet yang hendak ditumpanginya tampak rapuh. Pun jumlah penumpang yang tidak sesuai dengan kapasitas seharusnya. Apalagi ditambah dengan angin yang malam itu berhembus kencang. Semuanya membuat Marwa takut. Ia takut tenggelam walau toh telah memakai jaket pelampung karena ia tidak dapat berenang.

Ibu Marwa mencium kening Marwa berulang kali sebelum akhirnya satu per satu dari mereka berempat bersama penumpang lainnya mulai naik ke perahu karet kecil itu. Ayah dan Ibu Marwa duduk di pojokan, sedangkan Marwa duduk di depan ayahnya. Kepalanya yang terasa berat ia sandarkan ke pangkuan ayahnya. Sepasang matanya yang mulai basah berusaha menenangkan Ali yang tangisannya mulai mereda. Marwa mengerti betul bahwa perjalanan panjangnya baru saja dimulai. Masih banyak liku terjal untuk memperoleh suaka di Inggris. Perjalanan yang akan memaksanya berlari dan bertumbukan dengan banyak pengungsi.

Perahu karet mereka pun mulai berjalan ke tengah laut Ege yang bergelombang karena hembusan angin. Waktu berjalan sangat pelan layaknya siput seiring ketakutan Marwa yang semakin meningkat. Bibirnya terus merapal doa. Sama seperti ayah dan ibunya. Sungguh, ia tak pernah menduga bahwa kehidupan indahnya di Aleppo akan tergores pisau tajam yang membuat hatinya cacat dan terapung pada lautan, angin, dan alam yang entah membawanya ke mana.

Lamunan Marwa terhenti ketika ia menyadari bahwa air laut mulai masuk ke perahu karet kecil mereka. Seluruh penumpang perahu yang mulai panik menepikan tas mereka supaya tidak basah ataupun melindungi dirinya dari air. Angin yang bertiup membuat gerakan pada perahu kecil itu tidak beraturan. Penumpang semakin panik. Anak kecil menjerit-jerit ketakutan akan semakin banyaknya air yang masuk ke perahu karet. Perahu kecil itu pun tidak bergerak di tengah lautan. Hanya terapung sebelum kemudian tenggelam perlahan.

Kejadiannya begitu cepat. Karena gelap, Marwa terlepas dari ibu, ayah dan Ali. Ia mendengar suara jerit dan tangisan yang samar.

“Abi! Ami! Ali![15]” teriak Marwa besahutan dengan teriakan para penumpang lainnya. Marwa yang tidak bisa berenang pun membiarkan tubuhnya terombang-ambing di lautan yang dingin; ketakutan. Matanya berusaha mencari cahaya. Kedua kakinya sibuk menendang-nendang air. Begitu juga tangannya. Namun bukannya menemukan pegangan atau mengenali setidaknya salah satu anggota keluarganya, ia justru merasa semakin jauh dari penumpang lainnya.

“Abi! Ami! Ali!” Marwa mulai menangis. Sebagian air masuk melalui mulutnya. Tak sengaja ia menelan beberapa. Nafasnya terasa sesak. Ia terus berteriak minta tolong hingga akhirnya ia mendengar tangisan Ali. Dihentakkannya kaki dan tangannya bersamaan demi menggapai sosok Ali yang tubuhnya terlihat sebagian. Badan bocah lelaki yang menangis itu tampak terlepas dari jaket pelampungnya. “Ali! Ali! الاصغر أخي. Akhi alasghar![16]” Merve terus menggerakkan kakinya tidak beraturan sambil menangis hingga dadanya terasa penuh oleh air. Angin sepoi malam yang seharusnya dapat dinikmati dengan kedamaian itu semakin mencekam. Tiba-tiba ia merasakan bajunya ditarik ke atas. Lalu semuanya menjadi gelap.

Marwa tak tahu hari apa itu ketika ia berbaring di sebuah kasur polos. Matanya mendapati beberapa orang yang bersahutan dalam bahasa Arab, Persia dan Turki di sekitarnya.

Kepalanya pun tiba-tiba sakit. Beberapa memoar kelam bergantian menghiasi kepalanya bagai komidi putar. Ia memukul kelapanya beberapa kali. Aku mimpi buruk, gumamnya sendiri.

“Dia sudah sadar!” seorang perawat Turki datang menghampirinya.

Semuanya berputar begitu cepat.

Kedua tangan Marwa menggenggam selimut dengan sangat erat. Tangannya gemetar. Ia terisak-isak tanpa air mata. Marwa kehilangan ayah, ibu dan adiknya Ali dimana jenazah ketiganya masih dalam pencarian.

 “Aku beruntung masih diberi kesempatan untuk hidup dan bertemu orang Turki yang baik mau menyekolahkanku,” ujar Marwa menutup ceritanya sambil menyeka air mata yang telah mengering. Jantungku seolah berhenti berdetak. Şanslı kız?[17]


[1] Ibu
[2] Ayo berangkat, Sob!
[3] Hari Senin-Jumat
[4] Salah satu nama setaraf kecamatan di kota Izmir, Turki
[5] Dasar bodoh!
[6] Tenang, girl!
[7] Kita beruntung.
[8] Kita akan tinggal kelas karena absensi.
[9] Sejenıs roti
[10] Teh
[11] Ujian Tengah Semester
[12] Kenapa?
[13] Ayah
[14] Roti yang merupakan makanan pokok orang Turki
[15] Ayah! Ibu!
[16] Tolong adik lelakiku
[17] Gadis yang beruntung.


Naelil Maghfiroh
Salah satu tim kontributor Turkish Spirit. Mahasiswa asal Jawa Timur ini sedang studi pada Jurusan Jurnalistik di Ege University, Izmir Turki. Aktif berorganisasi di PPI Turki dan menulis di blog pribadinya di sini.

Kardan Adam

04.49.00 Add Comment

"Ada percikan darah di sekitar topi berwarna biru itu. Darah di atas putih salju yang mulai menipis. Air mata Amine tiba-tiba mengucur deras."

[Vers'i Cetak Cerita di Suara NTB, 5 Maret 2016]
Anne... anne, aku mimpi baba bawa sekarung teh.”
“Terus?”
“Tapi, baba tidak mau masuk ke rumah.”

Amine terhenyak. Memandang lekat mata Hale yang sepagi itu sudah menyala.

“Apakah baba akan pulang, anne?”

Amine mengangguk. Sangat pelan.

Sementara muka Hale tampak redup. Dia tak pernah tahu di mana keberadaan ayahnya. Pun Amine belum sanggup cerita tentang ayahnya saat ini. Ia menunggu Hale tumbuh sampai dewasa. Saat ini Hale masih tahun kedua ilkokul.

“Tehnya sudah siap, tatlım,” ujar Amine.

Hale langsung menyergap meja tempat biasa mereka minum teh. Tak ada roti. Tak ada peynir. Tak ada zaitun. Hanya segelas teh, sendiri. Aneh. Tak seperti biasanya. Muka Hale merengut. Menabur pandang ke sekeliling. Sementara aku terus mengamati tingkah Hale yang lucu, tapi sendu. Ingin sekali kupeluk erat.

Anne, aku mau sekolah. Sarapanku mana?”
Tatlım, sarapan sebentar lagi. Hari ini sekolah libur.”

Hale menatap jam dinding. Pukul 7.00, saat biasa Hale berangkat ke sekolah diantar ibunya.

Karena hari ini libur lagi, berarti sudah tiga hari Hale tidak masuk kelas. Dua hari sebelumnya, kota Şırnak dihantam badai salju. Setiap turun salju lebat, dengan angin yang kencang, pemerintah kota biasa meliburkan sekolah dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas.

Hale menuju jendela, mengintip jalanan belakang rumahnya yang masih diselimuti salju. Kata Mert, teman kelas yang sekaligus tetangga rumahnya, kar tatili hanya dua hari. Dan hari ini sekolah mestinya masuk lagi. Kemarin sore menjelang senja, Hale, Mert dan teman-temannya bermain kardan adam di perempatan jalan, tepat di samping rumahnya.

Hale lalu berlari ke jendela samping.

“Tehnya diminum, tatlım!”
Anneanne… topiku tertinggal di sana,” pekik Hale sambil menunjuk perempatan jalan.

Hale cepat meloncat dari jendela. Ambil jaket, sepatu musim dingin berwarna kuning dan syal. Menuju pintu. Dia tarik daun pintu keras-keras. Terkunci. Dari belakang Amine menyergap tubuh mungilnya.

Tatlım, sekarang sokağa çıkma yasağı!”
“Kenapa?”

Sebelum Amine sempat menjawab, tiba-tiba bunyi tembakan terdengar beruntun, berdentang nyaring dari depan kompleks. Hale melongo. Tak paham apa-apa. Ini kali pertama ada larangan keluar ke jalan sejak Hale lahir. Waktu Amine hamil tua beberapa kali diberlakukan larangan keluar rumah. Sejak saat itu menjadi hari yang buram; nyaris merampas nyawa Hale dan dirinya, ketika terbersit untuk bunuh diri, tepat di hari pertama sokağa çıkma yasağı. Tapi Tuhan ternyata ingin mereka berdua masih bertahan hidup di tengah kota yang bergolak itu.

Sokağa çıkma yasağı kali ini pemerintah Turki menerjunkan pasukan khusus demi misi menumpas gerakan separatis. Kota Sirnak dimasukkan dalam daftar utama kota berpenghuni para pemberontak yang ingin merdeka dari Turki.

Amine lalu memeluk Hale erat-erat. Mencium dan mendekapnya hangat. Ia memalingkan mukanya yang tak lagi bisa menahan air mata. Amine segera membersihkan rembesan air matanya dengan jilbab sebelum Hale sempat melihatnya. Ia juga tak ingin suara-suara peluru di luar sana sampai terus mengancam telinga Hale. Amine memasangkan headset microphone kesukaan Hale berwarna biru. Mereka lalu menonton video cerita anak di Youtube.

Tetapi, setiap ada bunyi letupan peluru, pegangan Hale makin mengikat. Mengepal erat. Seperti ketakutan!
***
Pagi buta, sekitar pukul 5, aku melihat Hale berlari sempoyongan menuju jendela samping yang bisa melihat perempatan jalan tempatnya biasa bermain. Hale belum cuci muka pagi itu. Sementara ibunya masih di tempat tidur. Karena semalaman Amine tidak bisa tidur di tengah rentetan bunyi senapan yang begitu sengit. Semalam suntuk ia melindungi Hale dengan memasangkan headset di kedua telinganya.

Hale menatap topi berwarna biru yang dua hari kemarin tertinggal sewaktu bermain kardan adam bersama teman-temannya. Pagi ini, dia sendirian. Aku ingin menemaninya.

“Apakah tadi malam bermimpi lagi?” tanyaku.

Hale tak menghiraukanku. Dia hanya melihat sekilas, lalu kembali menatap topi musim dingin yang kini masih ada di tengah-tengah gemutih salju.

“Cerita dong, tatlım!”
“Tadi malam aku kembali melihat baba membawa sekarung teh. Tapi baba tidak mau masuk ke rumah. Dia berhenti dan meletakkan sekarung teh di tempat topiku itu,” gumam Hale, tapi tak menghiraukanku.
[Anak-Anak Sedang Membuat Kardan Adam]
Hale kembali melihat jalanan sepi senyap. Sama sekali tak mengerti ada apa yang terjadi di luar sana. Dia hanya tahu sudah dua hari tidak boleh keluar rumah. Hale tiba-tiba menangis sesenggukan.

“Kamu bicara dengan siapa, tatlım?”

Amine merangkul Hale dari belakang. Mencium pipinya yang seperti buah ceri. Ia mulai cemas akan terjadi apa-apa dengan anak semata wayangnya itu.

“Bicara dengan…. dengan itu!” jawab Hale sambil menunjuk ke araku, di meja.

Amine menatap aneh ke arahku.

“Dia mengajakku bermain kardan adam. Mau ambilin topi. Mau melindungiku. Boleh kan, anne?

Roman muka Amine berubah seketika. Ia menatap meja sekali lagi. Aku diam. Amine merangkul Hale lebih erat lagi dan menggendongnya kembali ke kamar tidur. Mata Hale menatapku di sela-sela rambut ibunya yang kali ini tanpa jilbab.
***
“Pasukan khusus yang dıterjunkan pemerintah untuk membersihkan Şırnak dari para separatis berhasil dengan mulus. Tak ada korban nyawa dari pihak keamanan. Sementara itu, puluhan pemberontak tewas. Dalam hitungan hari ke depan, Şırnak akan betul-betul bersih dari kelompok separatis.”

Berita dari saluran televisi milik pemerintah di ruang sebelah terdengar cukup nyaring. Siapa yang menaruh saluran ke TRT1? Ini pasti kerjaan Hale tadi, sebelum ditinggal tidur. Dari luar, dentum peluru beradu dengan suara televisi.
***
Larangan keluar rumah sudah tiga hari berlangsung. Pagi sekali, pada jam yang sama, Hale kembali berlari ke jendela. Menatap topi musim dingin yang tergeletak di persimpangan jalan itu. Salju hari ini sudah tipis. Aku kembali menyapa Hale dengan lembut. Sebelum membalas, dia tiba-taba menjerit melengking. Berlari ke arahku di meja, menutup matanya dengan kedua tangannya. Tangisnya makin histeris. Tak menghiraukan omonganku lagi.

Amine terkejut dan sontak berlari dari kamar tidur. Tubuh kecil itu dipeluk, matanya diusap dengan telapak tangannya, lalu diciumnya.

Anneanneanne!” jerit Hale sembari menggerak-gerakkan tangannya ke jendela.

Amine langsung menghampiri jendela dan menatap ke luar. Seketika tangan Amine menutup mata Hale dan meleluknya. Erat di dadanya. Ada percikan darah di sekitar topi berwarna biru itu. Darah di atas putih salju yang mulai menipis. Air mata Amine tiba-tiba mengucur deras. Tapi segera dibalut dengan kerudung tipisnya.
***
Amine sudah menutup rapat semua jendela. Hale tak berani lagi melihat halaman. Dia hanya duduk di meja, menonton video dan sesekali bercakap-cakap denganku.

Sudah lima hari penduduk kota itu dilarang keluar rumah. Tapi hari ini kabarnya, larangan itu akan segera dicabut. Karena semua pemberontak yang sembunyi di sekitar kompleks itu sudah tewas satu per satu.

Pagi ini, ada tiga gelas the di meja. Buat Hale, Amine dan yang satu lagi adalah segelas teh yang diseduh lima hari kemarin. Setiap minum teh, Hale membayangkan bahwa teh itu adalah kiriman dari ayahnya, lewat mimpi-mimpinya.
[Salah Satu Kondisi Rumah di Şirmak. Foto +Anadolu Agency]
Tatlım, kamu sangat menyukai teh yang dibawa ayahmu. Aku adalah teh yang dibawa ayahmu sebelum tertembak di halaman, tempat kamu biasa bermain kardan adam, ketika malam-malam dia datang dari membeli sekarung teh selundupan di perbatasan Irak, tepat di hari pertama sokağa çıkma yasağı lima tahun silam. Ayahmu hanya penjual kaçak çay, teh yang kamu minum ini!”

Secepat kilat kedua tangan mungilnya menyergap segelas teh yang tersisa dan menenggaknya seketika.

Tatlım, itu teh basiiiii!” teriak ibunya, tapi terlambat. Teh itu sudah habis.

Hale lalu menangis sesenggukan.
Suaranya tersengal-sengal.

Turki, winter 2015

Bahasa Turki:

Anne: Ibu
Baba: Aya
Tatlım: Manisku (biasanya dipakai untuk anak-anak atau kekasih/pacar
İlkokul: Taman Kanak-KanakPeynir : Keju khas Turki (untuk sarapan)
Kardan adam: Boneka salju (permainan di negara-negara yang mempunyai salju)
Kar tatili: Liburan karena salju
Kaçak çay: Arti harfiah “teh selundupan.” Di Turki istilah ini menjadi stigma untuk suku Kurdi yang biasa bertransaksi teh dari Irak atau Suriah. Istilah ini hanya ada di Turki bagian timur. Banyak isu menyebar bahwa teh jenis ini dijual dan hasilnya untuk mendukung finansial gerakan kelompok separatis di Turki.
Sokağa Çıkma Yasağı: “Dilarang keluar ke jalan.” Kebijaan seperti ini berlaku ketika pasukan keamanan Turki sedang melakukan operasi untuk menumpang para separatis. Biasanya, kebijakan ini hanya diberlakukan di daerah-daerah yang rawan gerakan separais, yaitu daerah Turki timur.


Bernando J. Sujibto,
Menulis cerita, esai dan kolom, juga menulis sejumlah buku. Saat ini sedang merampungkan penelitian tesisnya tentang Orhan Pamuk untuk Program Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Berceloteh di @_bje.