Tampilkan postingan dengan label Ritual. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ritual. Tampilkan semua postingan

Ziarah Kubur di Masjid Sultan Eyub

01.38.00 2 Comments

Aura kesucian dan kekhusukan terasa di masjid yang dibangun pada tahun 1458 itu, pada masa Sultah Mehmet II atau Sultan Fatih

[Peziarah di Makam Eyup. Foto istanbuldagez.com]
Begitu keluar dari Stasiun Metro Topcular, Istanbul, rasa kebingungan mulai menghinggapi. Stasiun bawah tanah yang pintu cikis (keluar) diapit jalan selebar 3 meter itu membuat saya bingung. Bergerak ke kanan atau ke kiri. Saya mencoba untuk bergerak ke kiri dan mulai menyusuri trotoar namun sepertinya arah yang saya tuju itu bukan menuju jalan yang saya inginkan. 

Saya pun kembali ke arah awal, ke stasiun. Sampai di tempat awal, langkah yang saya ambil, kembalikan dari sebelumnya, yakni ke kanan. Di tengah kegalauan, bertanya kepada dua orang yang sedang berjalan. Ketika bertanya singkat soal keberadaan Eyub Camii, mereka dengan sigap mengatakan jalan lurus dan belok kiri. “Sekitar 3 km,” ujarnya.

Saya menuruti apa yang disampaikan itu. Menyeberang jalan dan menyusuri lintasan, melintasi bangunan toko. Sesampai di pertigaan saya belok kiri dan terus merambat jalan. Rasa was-was mulai muncul kembali saat berada di perempatan. Perasaan was-was selama beberapa saat itu langsung hilang saat melihat ada papan petunjuk yang mengarahkan ke Eyub Camii.

Saya terus berjalan lurus mengikuti jalan itu. Di kanan-kiri jalan, beragam toko dan kedai serta rumah saya lewati. Dari kejauhan, seperti ciri masjid-masjid di Turki, terlihat menara lancip yang menjulang tinggi. Meski demikian belum bisa memastikan apakah tempat itu adalah Eyub Camii. Pada sebuah kesempatan bertanya kepada orang yang kebetulan berpapasan. Saat bertanya lokasi yang hendak dituju, ia menunjuk bangunan masjid yang bermenara tinggi itu sebagai Eyub Camii. Dengan demikian, masjid itu dari kejauhan sudah terlihat. 

Masjid itu berada di samping pertigaan jalan. Memasuki komplek area, kita akan melihat berbagai rumah makan, minuman dan oleh-oleh. Tempat yang disebut Eyub Sultan Mosque atau Eyub Sultan Camii itu dikepung oleh restoran, perbelanjaan, makam dan perumahan penduduk.

Di depan itu masuk komplek masjid, ada sebuah air mancur dalam sebuah lingkaran. Tak jauh dari air mancur, ada kursi-kursi panjang yang siap diduduki. Saya langsung masuk ke dalam masjid. Seperti masjid yang lain, ada plastik untuk membungkus alas kaki yang kita pakai. Kutarik plastik, selanjutnya kubuka dan memasukan sepatu. Kubawa bungkusan plastik itu masuk ke dalam masjid. 

Di dalam masjid ada rak-rak pendek yang biasa digunakan untuk menaruh sepatu. Saya dan pengunjung lain pun menaruh alas kaki di tempat itu. Selanjutnya di hamparan karpet berwarna merah, orang yang berada di dalam masjid itu melakukan sholat.

Aura kesucian dan kekhusukan terasa di masjid yang dibangun pada tahun 1458 itu, pada masa Sultah Mehmet II atau Sultan Fatih. Sebagai masjid yang dibangun dengan gaya Utsmaniyah atau Ottoman, bangunan yang berada di dalam masjid ini sama dengan kebanyakan masjid-masjid yang berada di Turki.

Di dalam masjid saya merenungi masa lalu dan merasakan kenikmatan yang sudah diberikan Allah. Selepas berdoa, saya keluar dari dalam masjid melalui pintu utama. Di luar ini ada sebuah pohon yang dikelilingi oleh pagar berukuran 1 meter. Pohon itulah yang menjadi pembatas antara masjid dan sebuah bangunan. Di dalam bangunan itulah makam Eyub. 

Untuk masuk ke makam, pengunjung harus memutar ke arah keluar kemudian dari pintu samping bangunan masuk ke dalam. Sama seperti masuk ke dalam masjid, ke dalam makam ini pengunjung harus membungkus alas kaki dengan plastik yang telah disediakan.

Antrian kecil terjadi. Satu persatu akhirnya pengunjung masuk. Ruangan di dalam bangunan itu tak seluas bangunan masjid sehingga ketika berada di dalam serasa penuh. Di dalam bangunan makam, kita akan menjumpai orang-orang yang melakukan ziarah kubur. Tak heran para peziarah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan itu melakukan ritual doa. Terlihat kaum perempuan yang duduk bersandar pada dinding mendaras kitab suci Alquran. Sedang kaum laki-laki duduk bersimpuh menghadap maka Eyub. Dari sini terlihat bahwa ummat Islam di Indonesia dan Turki memiliki kebiasaan yang sama yakni ziarah kubur.

Makam Eyub sendiri dibatasi oleh dinding berlukiskan motif Turki. Ada pintu masuk ke makam yang berpagar aluminium setinggi satu meter dan lebar satu meter. Di dalam ruangan itulah Eyub bersemayam.

Eyub yang memiliki nama panjang Khalid bin Zaid al Anshari an Najjari atau juga dikenal dengan sebutan Sultan Ayub merupakan sahabat Nabi Muhammad. Saat Nabi hijrah ke Madinah, Eyub membuka pintu rumahnya untuk Nabi. 

Mengapa Eyub sebagai orang Arab dimakamkan di Turki? Ini tak lepas dari upaya dakwah Islam. Islam ingin berkembang ke Barat, Eropa. Keinginan mendakwahkan Islam ke Eropa terhalang oleh Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) yang berpusat di Konstantinopel (Istanbul), Turki. Untuk menyingkirkan halangan itu maka Byzantium harus ditaklukan. Di sinilah permasalah tak mudah. Berbagai serangan terhadap Byzantium yang dilakukan beberapa kali, sejak tahun 669 Masehi, belum berhasil. Baru pada masa Sultan Fatih, tahun 1453, Byzantium berhasil ditaklukan. 

Perjuangan-perjuangan sebelumnya telah melahirkan syuhada di medan laga. Salah satu di antaranya adalah Sahabat Eyub. Kegigihan Eyub dalam menaklukan Byzantium membuat Sultan Fatih membangun masjid untuknya dan memperbaiki makam Eyub.


Ardi Winangun
Penulis adalah traveler dan kontributor travelogue di Harian Jawa Pos. Bisa dikontak di media sosial Facebook dengan nama Ardi Winangun.

Seni Budaya Nusantara di Konya

14.11.00 Add Comment

Rumi melengkapi mistisisme September

[Tari Saman. Foto +Bernando J. Sujibto]
Ketika September menyapa, bulan yang menandai musim gugur—saat di mana daun-daun beranjak menguning dan pasrah disangkut angin—, Konya bersiap menyambut momentum kehadiran: kelahiran sufi besar, Mevlana Jalaluddin Rumi. September adalah saat di mana Rumi seperti dilahirkan kembali, disapa ribuan manusia dari semua bangsa dan dirayakan dengan kehidmatan-kehidmatan ritual dan doa-doa.

Bulan September yang dimitoskan oleh banyak peradaban (seperti perayaan Pabon oleh bangsa Pagan untuk berterima kasih kepada sinar matahari karena sebentar lagi gelap akan datang (impending dark), bangsa Aborigin menjadikan September sebagai momentum meramal astronomi, atau prosesi ritual bagi bangsa Yunani kuno karena dewi Persephone akan kembali ke suaminya Hades, di dunia durjana) terasa semakin mistis dengan kehadiran Rumi. Ia melengkapi mistisisme September!

Namun, tak lama setelah perayaan demi perayaan untuk hari kelahirannya, bulan Desember di awal musim dingin, Rumi kembali dihantarkan menuju singgasana Ilahi. Sebuah malam pengantin di mana ia dijemput oleh Allah.

Durasi tiga bulan dari September ke Desember telah menjadi semacam ritual tahunan khusus bagi pemerintah Konya, Turki untuk—dengan usaha sebaik-baik mereka—merayakan keseluruhan tentang Rumi. Dari 22-30 September misalnya telah dihelat sebuah Festival Musik Mistik Internasional (Uluslararası Mistik Müzik Festivali) ke-11, sebuah festival yang dirancang untuk merayakan momentum Shab-i Aruz (wedding night with God/malam pengantin bersama Tuhan) yaitu hari meninggalnya Jalaluddin Rumi di Konya. Acara Shab-i Aruz memang masih tanggal 17 Desember. Tetapi karena tergolong dekat secara penanggalan serangkaian acara dimulai sejak memperingati hari kelahiran Rumi, 30 September.

Terhitung sejak 22 September sampai 17 Desember ke depan, di Konya, kota yang matang oleh mistisisme itu, akan mudah ditemukan kegiatan-kegiatan yang secara spesifik terkait dengan keseluruhan guru mistis dan sufisme termasyhur di jagat raya itu. Dimulai dengan pementasan musik-musik mistik dari berbagai negara (tahun ini akan diwakili oleh Indonesia dengan Seni Budaya Nusantara, Spanyol, Tajikistan, Iran, Mayotte, Bolivia, India, Pakistan dan Turki), seminar dan konferensi, hingga karnival mehter (drumband khas Ottoman) yang ikut merayakan, tepat di hari Shab-i Aruz.

Tahun ini Indonesia mendapatkan kehormatan untuk mementaskan Musik dan Tari Dzikir dan Tari Saman, tari perang asal Aceh, di publik internasional. Ini akan menjadi delegasi kedua dari Indonesia sejak festival ini pertama kali digagas tahun 2004 setelah Gamelan Semara Ratih yang diundang pada acara Konya Mystic Music Festival ke-7 tahun 2010. Delegasi Tari Saman sudah tamppil pada tanggal 29 September di Pusat Kebudayaan Rumi (Mevlana Kültür Merkezi), sebuah gedung artistik di tanah seluas 100.000 m² yang dibangun sebagai prasasti untuk nama besar Rumi. Ini akan menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk meluaskan jaringan promosi kebudayaan di ajang prestisius dan sekaligus akan membuka kerjasama diplomasi budaya lebih lanjut yang akan saling menguntungkan bagi kedua negara ataupun negara-negara lain yang terlibat dalam festival.

Usia 807 Tahun
[Green Dome, Ikon Makam Rumi. Foto +Turkish Spirit
Jalaluddin Rumi (lahir di Balkh, Afghanistan, 30 September 1207 dan meninggal di Konya, 17 December 1273) seperti tidak pernah pergi dari kita. Meskipun jasadnya sudah berkalang tanah dengan damai di kabupaten Karatay, Konya dengan salah satu simbol yang terkenal yaitu yeşil türbe (green tomb), namanya selalu disebut-sebut dan akrab dalam setiap obrolan masyarakat; puisi-puisinya ditulis dan dihadirkan di banyak sudut kota; alunan nay yang mengiris dan mistis (alat musik serunai jenis klarinet asal Persia) akan mengetuk-ketuk sejak di terminal; dan simbol dirinya (yang terkenal dengan whirling dervish) terpancang berderet-deret di tengah kota Konya. Jika Anda datang ke Konya, dipastikan bahwa Rumi akan menjadi sosok pertama yang menyapa dengan irama syahdu.

Dalam beberapa kesempatan, saya secara pribadi memastikan ihwal seberapa besar dan berartinya sosok Rumi di hati masyarakat Konya. Saya melontarkan pertanyaan kenapa Konya menjadi kota yang tentram, masyarakatnya lebih religius, sulit mendapati anak-anak muda minum bir di jalanan (tidak seperti di kota-kota lain di Turki). Jawaban mereka semua merujuk kepada keberadaan Mevlana, sebutan agung untuk tokoh yang sangat dihormati dan diikuti. “Karena menghormati Mevlana,” ujar mereka dengan penuh yakin.

Konya menyimpan jejak sejarah gemilang abad pertengahan sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Saljuk (1097-1243), sebelum Ottoman Empire lahir. Kota yang pernah menjadi salah satu pusat peradaban Neolithic (sekitar 2,000 SM) dibuktikan dengan penemuan tempat tinggal mereka yang terbenam dı bawah tanah di daerah Çatalhöyük (kemudian masuk warisan UNESCO tahun 2012) tidak bisa dilepaskan dari nama ulama-ulama besar dan masyhur seperti Shams Tabrizi, Sadreddin Konevi, Nasreddin Hoca ataupun Ibnu Arabi yang pernah datang ke Konya atas undangan Sultan Seljuk tahun 1207. Di samping itu, ayah Rumi sendiri yaitu Bahaeddin Veled, yang diberi gelar sultan al-ulama oleh Kerajaan Seljuk, melengkapi sejarah agung orang-orang besar di sekitar Rumi.
[Acara Tari Sema di Konya. Foto +Bernando J. Sujibto]
Jauh waktu sebelumnya, Fariduddin Attar pernah berpesan kepada kepada Bahauddin Walad ketika berjumpa di Nishapur dalam perjalanan pulang haji yang melintasi rute Baghdad, Damaskus, Malatya, Erzincan. Waktu itu keluarga Rumi memilih meninggalkan tanah kelahirannya di Balkh karena tengah diserang bangsa Mongol, dan akhirnya tiba di Konya. Attar berpesan “umarım yakın bir gelecekte oğlunuz alem halkının gönlüne ateş verecek ve onları yakacaktır” atau dalam terjemahan Prof. Reynold A. Nicholson, penekun Rumi, ahli bahasa Persia dan Professor Arab di Cambridge University: “… very soon you will see that this child will set fire onto the heart of the lovers in this world”. Prediksi seorang sufi besar itu pun terbukti: Rumi telah menyalakan cahaya ke hati setiap manusia.

Saat berjumpa Attar, Rumi masih seorang bocah berumur sekitar 7 tahun. Tapi Attar—seorang ulama sufi besar Persia dan sekaligus penyair yang berpengaruh dalam kesusastraan Persia termasuk pada diri Rumi—paham tentang seorang bocah yang kala itu menjadi tamu bersama keluarga besarnya. Attar lalu memberi hadiah buku Asrar namah-i (Kitab Rahsia Ketuhanan) kepada Rumi kecil.

Hari ini Rumi seperti terus mengajak anak manusia untuk mencicipi selaksa cinta dan perdamaian; merasakan kesejatian arti manusia di depan Sang Khalik. Semua manusia dari belahan dunia mana pun diundang dalam perjamuan penuh cinta, seperti yang disampaikan sang Mevlana sendiri: “come, come, whoever you are. Wonderer, worshipper, lover of leaving. It doesn’t matter. Ours is not a caravan of despair. Come, even if you have broken your vow a thousand times. Come, yet again, come, come.”
[Tulisan Versi Cetak. Foto Harian  +Kedaulatan Rakyat]
Petikan demi petikan saz, alunan nay yang mengiris-iris dan puisi-puisi cinta dan kebijaksanaan dari Rumi terus terpancar ke semua penjuru dunia. Ajaran universalisme Rumi yang menyapih sekat dan batas-batas agama, suku bangsa dan ideologi telah menasbihkan dirinya menjadi milik semua bangsa, seperti dalam potongan puisinya dalam masterpiece-nya Mastnawi: “I do not distinguish between the relative and the stranger.

Sebagai salah satu bukti betapa Rumi dicintai oleh semua orang, salah satunya bisa dibaca rilis Majalah Time (Edisi 29 Oktober 2002). Majalah ini merilis tentang penyair tersukses dari aspek penjualan buku/karyanya “…. a Muslim mystic born in Central Asia almost eight centuries ago, he is no longer available for comment”. Time lalu menyebut Rumi sebagai “the most popular poet in America.”

Itulah Rumi, sosok yang akan terus hidup sepanjang masa di tengah-tengah para pencari jatidiri, cinta kasih dan kemanusiaan. Jalan yang ditempuhnya dalam lorong sufisme—kearifan dan kedamaian yang diagungkannya—telah menebar ke semua perjuru dunia, termasuk Indonesia.

Versi cetatk esai ini dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, 12 Oktober 2014


Bernando J. Sujibto
Penulis dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Sedang merampungkan riset tesis tentang karya Orhan Pamuk. Follow Twitter @_bje.

Romantisme Perjumpaan Turki-Indonesia di Mekkah

14.48.00 Add Comment

Nyaris sulit menemukan cara lain mengenal orang Indonesia selain momentum perjumpaan ketika menunaikan ibadah Rukun Islam kelima

[Jamaah Haji Cilik Asal Turki, Mohammed dan Fatma. Foto +Avifah Ve]
Indonesia. Ya, saya adalah salah satu warga negara Indonesia yang tengah berada di Turki untuk studi. Sampai saat ini, ada sekitar 800 pelajar Indonesia dari berbagai jenjang pendidikan yang bermukim di Turki, baik dengan beasiswa maupun non-beasiswa.

Ketika di Indonesia, meski saya pribadi tidak jarang bertemu dengan orang-orang yang bermuka masam, alhamdulillah di sini (dan mungkin juga di negara-negara lainnya) pelajar dan masyarakat Indonesia dikenal ramah, murah senyum, baik hati, tidak sombong dan rajin menabung (kriteria yang terakhir cuma tambahan pribadi, hiiii).

Di sini, ketika Türk (orang Turki) melihat saya, ada cukup banyak orang yang langsung bisa menebak: Endonezya, Malezya? Secara karakter wajah Asia Tenggara memang tidak jauh berbeda. Namun, mungkin masih banyak juga orang Turki yang belum terlalu mengenal Indonesia. Bagi mereka, biasanya pertanyaan diawali dengan nerelisin? (asal kamu dari mana?), bahkan tidak jarang juga yang langsung menyapa menggunakan nama negara tertentu untuk mendefinisikan orang asing. Suriyeli misin? (kamu dari Suriah?) adalah yang paling umum.

Jujur, saya dan tentu banyak orang lain juga akan lebih senang jika ditanya nerelisin dibandingkan Suriyeli misin. Karena menurut saya pribadi, pertanyaan tersebut terkesan seperti labeling. Kalaupun saya berasal dari Suriah, toh saya tetaplah saya; manusia. Namun demikian, saya coba memahami keadaan dan perasaan mereka kaitannya dengan hal ini. Saya kemudian hanya tersenyum semanis-manisnya dan mengatakan bahwa saya berasal dari Indonesia.

Banyak orang yang setelah mendengar kata Indonesia langsung berwajah sumringah, terlebih para teyze (ibu-ibu) atau amca (bapak-bapak) yang sudah pernah menginjakkan kaki ke Tanah Suci.

Bagi mereka yang sudah pernah pergi Haji atau Umrah, orang Indonesia dikenang sebagai sosok membanggakan dan memberikan kesan baik. Pada umumnya, mereka akan membandingkan orang Indonesia dengan mereka yang berbadan tinggi dan besar dari negara-negara lain, yang menurut orang-orang Turki tidak hanya postur tubuh mereka saja yang besar tetapi juga ego mereka.

Mayoritas rakyat Turki yang berusia di atas kepala lima rata-rata mengenal orang Indonesia melalui pengalaman mereka di Mekkah. Bagi kelompok masyarakat Turki yang berusia seperti itu, nyaris sulit menemukan cara lain mengenal orang Indonesia selain momentum perjumpaan ketika menunaikan ibadah rukun Islam kelima itu. Hal ini sudah menjadi rahasia umum.

Oleh karena itu, kita sebagai orang Indonesia akan diperlakukan istimewa dan sangat baik. Karena berdasarkan pengalaman perjumpaan masyarakat Turki di Mekkah, orang Indonesia sangatlah ramah dan murah senyum. Tidak suka berebut dan terburu-buru apalagi merugikan hak orang lain dalam beribadah selama berada di Tanah Suci. Mereka akan bercerita panjang lebar tentang pengalamannya dengan orang-orang Indonesia. Biasanya saya akan merespon dengan lagi-lagi senyum semanis-manisnya dan ucapan teşekkür ederim.

Terlebih lagi, yang seringkali mereka ingat dan dengan senang hati mereka ceritakan adalah tentang banyaknya masyarakat Indonesia yang mereka lihat mengunjungi Tanah Suci, berhaji dan mengikat janji suci alias menikah. Dengan semangat, mereka bercerita bahwa senin gibi gençler hacca geldiler ve orda evlenirler (banyak anak muda seperti kamu datang untuk berhaji dan menikah di sana).

Entah kenapa hal ini merupakan salah satu yang terkenal di kalangan masyarakat Turki. Berhubung saya belum pernah berhaji dan sampai saat ini tidak berkeinginan untuk menikah di Tanah Suci karena merasa tidak apa-apa dan bahagia menikah di negeri sendiri, serta karena kurangnya informasi, lagi-lagi dengan senyum semanis-manisnya, saya menjawab bahwa genellikle zenginler böyle yapıyorlar (umumnya orang kaya yang melakukan hal ini).

Begitu banyak kenangan orang-orang Turki terhadap keramahan dan kebaikan masyarakat Indonesia. Begitu dalamnya kesan yang mereka dapat, hingga tidak bosan-bosannya mereka menceritakannya lagi dan lagi.

Jadi, tersenyumlah, bersikap ramahlah, berbaik hatilah, karena bahkan orang-orang dari belahan dunia lain pun menganggap kita sebagai bangsa yang murah senyum, ramah dan baik hati. Jangan biarkan hal tersebut mengendap hanya sebagai sebuah anggapan apalagi hanya sebagai kenangan.


Nanik Yuliyanti
Keturunan Jawa asli yang numpang lahir dan tinggal di Lampung. Mahasiswi Master yang mungkin ngga terlalu pintar tapi bisa dibilang rajin tingkat dewa di Necmettin Erbakan University, Konya. Sedang menempuh pendidikan di jurusan Dinler Tarihi atau Sejarah Agama, namun sangat tertarik dengan dunia pendidikan dan anak-anak. Berencana untuk tetap berkecimpung dalam dunia anak-anak setelah menyelesaikan pendidikan.

Tradisi Idul Fitri di Turki

19.47.00 2 Comments

Ziarah kubur adalah tradisi lebaran yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat Turki

[Foto dari www.blog.n11.com/]
Mengumpulkan Permen
[Foto www.haberler.com]
Idul Fitri menjadi salah satu hari yang menyenangkan bagi anak-anak di Turki. Karena pada hari ini setiap rumah menyediakan beragam permen dan cokelat dari berbagai merek. Anak-anak datang dengan membawa plastik kresek. Sayangnya, di kota-kota besar tradisi ini sudah mulai hilang.

Saling Maaf-Memaafkan
[Foto dari www.blog.n11.com/]
Seperti di Indonesia dan di berbagai negara Muslim lainnya, momentum Idul Fitri dijadikan ajang untuk saling memaafkan antarsahabat, keluarga dan kolega-kolega.

Silaturrahim
[Foto dari www.blog.n11.com/]
Meski istilah “mudik” tidak sesemarak kita, Turki juga mempunyai tradisi berkumpul dengan keluarga. Nyaris setiap kota besar seperti Istanbul dan Ankara akan lebih sepi di hari Idul Fıtri karena banyak dari penduduk mereka kembali ke kampung. Tradisi silaturrahim dan mengunjungi kerabat menjadi bagian perayaan Idul Fitri di Turki

Ramah-Tamah untuk Musafir
[Foto dari www.blog.n11.com/]
Turki dikenal sebagai masyarakat yang cinta-musafir. Setiap lebaran Idul Fitri dipastikan ada banyak penganan (Turkish Delight) dan teh untuk para tetangga dan musafir yang berkunjung untuk silaturrahim. Di samping itu, mereka mempunyai makanan khas untuk penganan sesuai dengan daerah masing-masing di Turki. Yang pasti ada adalah permen dan baklava untuk keluarga yang kaya.

Salat Idul Fitri
[Foto unyabizim.com]
Setelah salat Idul Fitri masyarakat  Turki biasa melakukan ucapan selamat dengan istilah lain bayramlaşma (saling berbagi rasa suka cita lebaran dengan ucapan selamat seperti Ramazan Bayramınız Mübarek olsun dan bersalaman).  Momentum seperti ini menjadi pemupuk rasa persaudaraan, kesatuan dan solidaritas.

Tak Ada Kumandang Takbir 

Ini yang membuat lebaran (Idul Fitri atau Idul Adha) di Turki terasa hambar. Kita tidak bisa menikmati alunan dan gema takbir dari masjid-masjid di Turki. Di masjid, malam lebaran dan hari lebaran tak ada bedanya seperti hari-hari biasa. Kita yang pernah menikmati keramaian dan kebersahajaan lebaran tidak akan menemukan pengalaman demikian jika pernah mengalami lebaran di negeri dengan mayoritas Muslim ini. Terasa hambar.

Ziarah Kubur
[Foto www.haberler.com]
Ziarah kubur adalah tradisi lebaran yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat Turki. Anak-anak kecil dan semua anggota keluarga diajak mengunjungi kakek-nenek dan buyut yang telah mendahului mereka. Setiap lebaran Idul Fitri, area pemakaman menjadi salah satu tempat yang ramai.

Berbagi Zakat dan Sedakah
[Foto dari www.blog.n11.com/]
Zakat Fitri adalah kewajiban. Di samping itu, salah satu tradisi yang paling indah dan bermakna adalah memberikan sedekah kepada orang-orang miskin dan dalam situasi sulit.

Bagi-bagi Angpau
[Foto www.sozcu.com.tr]
Kebahagian lebaran Idul Fitri bagi anak-anak tak ada batasnya. Seperti juga terjadi di Indonesia, orang Turki akan memberikan angpau berupa uang jajan kepada anak-anak dari sanak famili yang berkunjung ke rumah nenek-kakeknya. Mereka sudah pasti menyiapkan uang jajan. Idul Fitri adalah momentum panen uang jajan bagi anak-anak di Turki. 

Hadiah Tisu Kain
[Foto dari www.blog.n11.com/]
Salah satu contoh yang paling indah dari tradisi lebaran Idul Fitri adalah untuk memberikan tisu untuk anak-anak. Tisu semacam saputangan itu dibagikan kepada anak-anak yang datang untuk mengunjungi mereka. Tradisi ini masih lanjut meski mulai ditinggalkan.

Uang Tip untuk Davulcu
[Foto dari www.blog.n11.com/]
Tradisi membangunkan orang sahur di Turki masih belangsung meski tidak terjadi di semua daerah. Mereka menabuh drum (davul) berkeliling di kampung masing-masing. Para davulcu tersebut akan mendapatkan uang tip ketika lebaran tiba, ada sebagian masyarakat memberikannya pada malam terakhir bulan puasa.

Kahke di Gaziantep
[Foto http://www.orkidepastanesi.com/]
Kahke adalah makanan khas dari daerah Gaziantep. Bagi orang Antep, lebaran tanpa Kahke bukan lebaran namanya.

Helesa di Sinop
[Foto www.haberler.com]
Helesa adalah salah satu tradisi bulan Ramadan di Sinop, daerah Laut Hitam, semacam pesta desa yang dirayakan khususnya oleh muda-mudi hingga malam lebaran. Assesoris yang dibawa berupa perahu, menyanyikan gita rakyat Laut Hitam.

Kömbe dari Hatay
[Foto aa.com.tr]

Daerah Hatay, Gaziantep, Osmaniye dan Kahramamaraş mempunyai makanan khusu Idul Fitri, dikenal dengan nama Kömbe.

Tulisan di atas diadaptasi dari berbagai sumber.

Denyut Cinta Maulana Rumi

05.39.00 1 Comment
[Makam dan Museum Maulana Rumi di Kota Konya. Foto +Turkish Spirit]
Bagi penempuh jalan sunyi, kisah-kisah yang terpendar dari seluruh kehidupan sufi adalah hikmah tanpa tepi. Kisah Maulana Rumi, menjadi referensi betapa energi sufi mampu menjadi jembatan cinta manusia lintas benua, manusia lintas bahasa.


Maulana Rumi memiliki nama lengkap Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasan al-Khattabi al-Bakri. Beliau lahir di Balkh (kawasan Afghanistan) pada 6 Rabiul Awwal, 604 H /30 September 1207 M. Ayahanda Rumi bernama Bahauddin Walad, keturunan Abu Bakar. Keluarga ibundanya dari silsilah kerajaan Kwarazm.

Ayahanda Rumi merupakan seorang Syaikh dan cendekia yang berpengaruh, juga guru di kawasan Balkh. Saat tentara Mongol datang menyerbu daerah ini, keluarga Maulana meninggalkan kampung halaman menuju Khurasan dan Syuriah, hingga di Provinsi Rum di Anatolia Tengah. Keluarga Rumi juga pernah singgah di Nishapur yang menjadi kawasan tempat kelahiran penyair dan ahli matematika ternama, Omar Khayyam. Di Nishapur, Rumi juga bertemu dengan penyair dan sufi Fariduddin Atthar. Di hadapan Rumi, Atthar meramalkan bahwa bocah pengembara dari Balkh ini kelak akan menjadi bintang terang, yang menghiasi jagad khazanah pengetahuan Islam.

Di hadapan Rumi, Atthar meramalkan bahwa bocah pengembara dari Balkh ini kelak akan menjadi bintang terang

Petualangan Rumi berlanjut. Ia bertemu dengan gurunya, Syamsuddin Tabriz pada 1244. Sang guru inilah yang membimbing Rumi menaiki tangga spiritual ke maqam yang tinggi. Ia menapaki suluk bathinnya dengan keindahan dan kedamaian. Dengan bantuan Syamsuddin Ghalabi, Maulana Rumi kemudian mendiktekan karya monumentalnya, Matsnawi. Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat ayahandanya. Atas saran gurunya ini, Rumi melanjutkan petualangan ilmu ke Syam (Suriah).

Petualangan Ilmu

Ayah Rumi, Syaikh Bahauddin Walad Muhammad bin Husein merupakan seorang guru berpengaruh yang bermazhab Hanafi. Syaikh Bahauddin dikenal memiliki kharisma kuat dan keilmuan mendalam, hingga mendapat julukan Sulthanul Ulama. Namun, karena pesona pengetahuan dan pengikut yang besar, Syaikh Bahauddin sering mendapatkan fitnah dari kelompok yang cemburu dengan ketenaranya. Akhirnya, sang penguasa Balkh ikut memusuhi Syaikh Bahauddin, hingga ia pindah dari tanah kelahiran.

Perjalanan keluarga ini, sampailah di Konya, Turki. Raja Konya, Alauddin Kaiqubad mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya. Syaikh Bahauddin juga diangkat sebagai pimpinan lembaga pengajaran agama di Konya, hingga beliau mengembuskan nafas terakhir. Syaikh Bahauddin wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.

Setelah menyelesaikan petualangan pengetahuan, Rumi kembali ke Konya pada 634 H. Di Konya, Rumi membantu mengajar di perguruan yang dibesarkan ayahandanya. Syaikh Burhanuddin Muhaqqiq, teman dekat ayahanda Rumi, menjadi pemimpin perguruan setelah wafatnya Syaikh Bahauddin.

Sejak itu, Maulana Rumi tekun mengajar murid-muridnya  hingga perguruan agama berkembang pesat. Jumlah muridnya sekitar 4000 orang, dari pelbagai kawasan di sekitar Konya. Kealiman dan pengetahuan Rumi menjadikan murid-muridnya mendapatkan pencerahan dalam keilmuan. Inilah yang menjadi penarik minat murid-murid untuk belajar dengan Rumi.

Di tengah kerumunan majlis ilmu, datanglah seorang pengelana, bernama Syamsuddin at-Tabrizi. Pengelana ini bertanya: “Apa yang dimaksud Riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan ini, seketika Maulana Rumi terkesima. Ia merasa mendapatkan pertanyaan yang menusuk pemikiran, menggelitik nurani. Rumi tidak mampu menjawab, hingga kemudian berkenalan dengan Syamsuddin. Sejak itu, Maulana Rumi berguru dengan Syamsuddin at-Tabrizi, keduanya betah berdiskusi hingga berhari-hari.

Pertemuan Rumi dengan Syamsuddin bagaikan murid kecil dengan Syaikh yang bergelimah ilmu hikmah. Rumi, yang saat itu berusia 48 tahun, bagaikan anak kecil yang terpengaruh dengan pesona tiada tara, terkesima dengan cahaya pengetahuan sang guru. Sultan Walad, putra Rumi, mengomentari ayahandanya: “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi murid kecil. Setiap hari, sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Dalam diri Syamsuddin at-Tabrizi, sang guru besar itu melihat kandungan ilmu tiada tara,”.

Namun, pergumulan pengetahuan Rumi dengan gurunya, Syamsuddin tidak berlangsung lama. Murid-murid Rumi merasa cemburu, merasa diabaikan karena lama tidak mendapat sentuhan pengajaran. Murid-murid menginginkan “orang asing” bernama Syamsuddin, meninggalkan kawasan Konya. Syaikh Syamsuddin, akhirnya pergi secara diam-diam meninggalkan kota Konya, meninggalkan murid kinasihnya dalam lipatan lara.

Mendengar gurunya yang meninggalkan kota, Rumi merasa dirundung duka mendalam. Ia tidak lagi memiliki gairah hidup, karena pesona kerinduan dan pengetahuan yang berasal dari cahaya-cahaya ilmu Syaikh Syamsuddin. Di tengah putus asa, Rumi mengutus anaknya untuk mencari sang guru ke Damaskus. Atas permohonan Rumi, Syaikh Syamsuddin bersedia untuk kembali ke Konya.

Dialog pengetahuan antara murid dan guru kinasih, Maulana Rumi dan Syaikh Syamsuddin, terulang kembali tanpa menghitung waktu. Maulana Rumi merasa mendapatkan api semangat ketika bertemu gurunya. Malangnya, murid-murid Rumi merasa resah karena tidak pernah diajar, guru mereka lupa dengan kewajibannya mengajar karena pesona Syaikh Syamsuddin.

Sang Syaikh kemudian pergi tidak kembali. Rumi bersama putranya berusaha mengejar keberadaan sang Guru, namun tidak pernah ketemu. Berkat pergaulan dengan Syaikh Syamsuddin dan renungan-renungan atas khazanah pengetahuan yang dilakukan, Rumi telah menjadi sufi. Ia menuangkan kerinduan dan pesona terhadap sang Guru, dengan puisi-puisi indah. Dari persentuhan dengan cahaya pengetahuan dari Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi, Rumi menulis Diwan Syams at-Tabriz. Wejangan-wejangan inspiratif sang Guru diterbitkan dalam kitab Maqalat-i Syams at-Tabriz.

Wasiat Ilmu Mualana Rumi

Bagi Rumi, cinta menjadi dasar bagi pengabdian dan penghayatan atas ilmu. Segala hikmah yang disampaikan oleh Rumi menjadi teladan bagi murid-muridnya, serta pengikutnya menembus zaman. Petuah cinta Rumi menjadi mutiara hikmah dan pendar cahaya ilmu bagi penempuh suluk di lintas benua, menembus sekat-sekat geografis.

Guru Rumi, Syamsuddin at-Tabrizi mengisahkan keindahan: “Bukanlah kematian yang menggelisahkan jiwaku. Ia, bagiku, bukanlah pemberhentian terakhir. Aku gelisah manakala aku mati tanpa meningalkan warisan pengetahuan. Aku ingin mengalihkan pengetahuan yang telah aku peroleh kepada orang lain, guru maupun muridku,”

Bagi at-Tabrizi, keindahan-keindahan yang terpancar dari pengetahuan menjadi denyut nadi untuk menempuh jalan cahaya, mendekat kepada-Nya. Jalan cahaya inilah yang mengilhami para darwish untuk terus menyebarkan inti dari pengetahuan, cahaya ilmu yang paling bersinar terang.

Para sufi menyebut Darwish sebagai :

الدرويش من يوزع الاسرار الخفية وفى كل لحظة يمن علينا بالملكوت ليس الدرويش من يستعطى خبزا الدرويش من يعطى الحياة

Darwish adalah orang yang menyebarkan rahasia-rahasia ilmu Ketuhanan. Pada setiap saat, ia membagi kepada manusia gagasan-gagasan tentang Kerajaan Langit. Darwish bukanlah orang yang meminta roti. Darwish adalah orang yang memberi kehidupan”.

Para penempuh jalan cahaya mengilhami manusia-manusia lintas zaman, dan menembus waktu. Kisah sufi Maulana Rumi mengilhami para pencari hikmah untuk terus mendekat pada keindahan, mencari makna dari ilmu yang diwariskan Nabi di muka bumi.

Maulana Rumi memberi wasiat kepada murid-muridnya: “Aku wasiat kepada kalian, bertaqwalah kepada Allah ketika sendiri dan sepi dan ketika terang yang ramai. Sederhanakan makanmu, kurangi tidurmu, sahajakan bicaramu, tinggalkan durhaka dan nakalmu, biasakan puasamu, langgengkanlah kontemplasimu, jauhkan selamanya, hasrat-hasrat rendahmu, tanggungkan dengan sabar keangkuhan semua manusia, tinggalkan bercengkrama dengan para ‘safih’. Temani orang-orang saleh dan mereka yang berbudi luhur. Manusia terbaik adalah mereka yang membagi keindahan pada orang lain. Ucapan terbaik adalah kata-kata sepatah tapi memberikan makna sejuta keindahan. Alhamdulillah.”

Rumi memberikan ajaran sufistik dari berbagai dimensi, ia mengelaborasi hakikat penciptaan manusia. Dalam karya “Fihi ma fihi”, Rumi mengungkap: Manusia melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja—manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu. Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan. Pada jenjang terakhir, ia berkata, ‘Aku menyembah Tuhan, maupun ‘Aku tidak menyembah Tuhan’ ia telah melewati jenjang ketiga.

Bagi Rumi, cinta dapat membawa manusia pada pencerahan lahir dan batin. ‘Panasnya ruang pembakaran mungkin terlalu berat bagimu untuk bisa mengambil manfaat dari pengaruh panasnya, sementara nyala api yang lebih lemah dari sebuah lampu bisa memberikan tingkatan panas yang engkau butuhkan’.


Maulana Rumi adalah garansi betapa cinta, ilmu dan hikmah bersatu dalam jalan cahaya yang mendekat kepada-Nya. Kisah Rumi adalah kisah pejalan sunyi, yang disekujur tubuhnya penuh cinta, berpendar makna. Alfaatihah.
Tulisan di atas disalin dari situs Islam.co

Munawir Aziz
Peziarah dan peneliti, menulis dan mengedit beberapa buku tentang Kajian Islam Nusantara, disapa via @MunawirAziz.

Rumi, Masnawi dan Ratapan Kerinduan

20.59.00 Add Comment

Al-Qur'an diawali dengan seruan, Baca! Mastnawi dimulai dengan seruan, Dengarkan! Seruan yang kedua mengandaikan: ‘dengarkan logos Ilahi, simak rahasia-rahasia-Nya, dengarkan kebenaran yang menggema dalam dirimu!

[Suasana Makam Rumi. Foto +Turkish Spirit]
Alastu bi rabbikum, bukankah aku adalah Tuhanmu/Bala shahidna,ya kami adalah saksinya./Tak ada di dunia ini/yang lebih indah dan baikdaripada/alam alastu.../Kau bilang Maulana, kami semua adalah anak-anakAdam/yang selalu teringat, alam alastu itu penuh dengan musik surgawi/kendatikami sudah tertutupi debu keraguan../Suaranya masih terdengar merdu/membuathati tertindih rindu/Di sana semua ciptaan menari-nari/mengikuti iramamusiknya/....semuanya menari, rindu kembali/ke alam alastu.
(Sindhunata, Ke Surga dengan Menari Sama, 2006)

Masnawi, kota Konya dan Rûmî adalah sebuah ruang jiwa yang identik. Jika salah satunya disebut, yang lainnya ikut terjaring dalam tafakur. Tapi, dua yang pertama hadir justru karena gema ratapan kerinduan agung sufi-penyair, Rûmî.

Masnawi adalah buah harum intuisi-puitik dari samudera batin Rûmî yang terefleksikan dalam larik-larik sajak yang diselimuti pesona magis dan rindu yang tertindih. Kitab ini menyisakan jejak tangis abadi dan air mata kerinduan kudus akibat kehilangan gurunya Syams al-Tabrizi—sahabat “misteri” dalam perjalanan spiritual—menyusul ketidakmampuan Rûmî menemukan seorang sahabat yang pas untuk berbagi pengalaman-senyap keruhaniannya.

Maulana Rûmî mendaku, “Masnawi adalah jalan cahaya bagi mereka yang ingin mencari kebenaran, menyingkap rahasia-rahasia Ilahi, dan karib dengan rahasia-rahasia tersebut.” Lihatlah pesonanya:
Jika kau punya jantung
bertawaflah mengelilinginya!
secara ruhani
Ka’bah sejati adalah jantung
bukan bangunan fisik dari batu dan tanah
Allah mewajibkan mengelilingi Ka’bah fisik
untuk merengkuh Ka’bah jantung
yang bersih dan murni

Aktus penyelaman ke kedalaman batin yang paling sublim menyebabkan Rûmî menyaksikan peristiwa-peristiwa penyingkapan yang tak tepermanai. Melalui kemurnian cahaya penyaksian (musyâhadah), Rûmî mengerang:
Aku menjadi hamba
menjadi hamba
dan menjadi hamba
aku hamba tak berdaya
malu karena gagal menunaikan kehambaanku
maka kutundukkan kepala…
Setiap hamba akan bahagia jika dibebaskan
Wahai Tuhan!
aku bahagia karena menjadi hamba-Mu

Perjumapannya dengan Syams membuka api suci kerinduan Rûmî yang sejauh ini menjadi tirai penghalang bertemu Sang Kekasih. Misi Syams adalah mengangkat pemahaman dan penglihatan batin Rûmî ke level yang tak ditekuk logico-positivistic. Sebab itu, Rûmî mengerang kegirangan, karena berhasil menghalau sekat dan melesat jauh menerobos realitas transenden.

Lautan misteri di dalam hati Rûmî terus menggelegak dan membakar laksana samudera minyak yang tersentuh kilatan api. Begitulah, Syams membakar kerinduan Rûmî, tapi kemudian dia menyaksikan sebuah ledakan dahsyat yang justru membuatnya ikut terbakar. Sejak itu, kerinduan, pengetahuan dan kearifan mereka tentang Allah, bertaut.

Ketika Syams meninggal, Rûmî terasa terpanggang api kesepian yang tak bertepi. Masnawi—yang menghimpun tak kurang dari 26.000 sajak—hadir sebagai jeritan kerinduan terdalam. Sebab itu, Matsnawi dapat dipandang sebagai puisi perpisahan. Sejak Nur Muhammad menyentuh Rûmî melalui Syams, kepergiannya ke alam baka merupakan perpisahan yang tak terperi bagi Rûmî.
[Dr. Haidar Bagir di Museum Mevlana, Naskah Asli Masnawi dalam Bahasa Persia. Foto +Turkish Spirit]
Karena dirinya dituntun oleh Syams menuju samudera makna yang tak tepermanai, Rûmî merindukannya sepanjang hayatnya. Dia laksana Majnun dalam legenda romansa, yang ditakdirkan untuk terbakar api cinta abadi terhadap Laila. Ketika seorang mewartakan, “Syams masih hidup,” Rûmî spontan menyerahkan semua miliknya kepada orang tersebut. Sejumlah Sahabat Rûmî mengingatkan jika ikhwal perkabaran itu bohong. Rûmî lalu memberi jawab: “Hadiah ini kuserahkan untuk sebuah kebohongan tentang hidupnya Syams. Andai saja aku mendengar kabar benar tentang dia, aku akan serahkan hidupku.”

Gelombang kerinduan spiritual Rûmî dilukiskan Masnawi ibarat seruling sunyi yang merintih:

Dengarlah seruling
menyimpan pesan
Ia menyingkap rahasia Allah yang tersembunyi
Wajahnya memucat
raganya kosong
yang tersisa
hanya napas sang peniup
dan melantunkan
’Allah, Allah’
tanpa lidah
tanpa bahasa

Getar getir dan ratapan kerinduan yang tak tunai dalam kalam, juga mengerkah teosof-penyair, Farid al-Dîn al-Târ, yang gagal menemukan sahabat sejati dalam berbagi menyauk telaga keruhanian:
Aku seekor burung
terbang dari dunia rahasia
tujuanku mencari mangsa
untuk kuterbang bersama ...
sayang, tak kutemukan seseorang
yang mengenali rahasia-rahasia ini
Aku kembali melalui pintu masuk
yang dulu

Masnawi sejatinya adalah serangkaian kisah alegoris, galaksi makna dan semesta kode. Rûmî tak sedikit memainkan butiran cahaya dunia lambang untuk sampai ke rahasia-Nya, tenggelam di kedalaman cinta-Nya:
Wahai saudaraku!
kisah-kisah itu ibarat sekam
maknanya seperti inti gandum di dalamnya
Orang berakal memakan dan mencerna gandumnya
dan tidak terkecoh oleh kulitnya!
Dengarkan! sisi luar kisah-kisah itu
tapi pastikan kautahu
memisahkan inti gandum dari sekamnya
kata-kataku tak pernah nirmakna
renungkan:
pengungkapan itu mencerminkan kedalaman batin kita

Masnawi juga senandung nestapa kerinduan untuk segera menyatu dengan-Nya:

Setelah kau lihat peti matiku diusung
setelah kepergianku
jangan tangisi aku
jangan ucapkan perpisahan ketika aku diturunkan
ke lahad …
benih mana yang tak tumbuh
setelah disemai dalam tanah
ada tujuh langit di bawah kakiku
[Kata Pembuka Masnawi Versi Terjemahan Reynold A. Nicholson]
Al-Qur'an diawali dengan seruan, Baca! Masnawi dimulai dengan seruan, Dengarkan! Seruan yang kedua mengandaikan: ‘dengarkan logos Ilahi, simak rahasia-rahasia-Nya, dengarkan kebenaran yang menggema dalam dirimu!


Dr. Mohd. Sabri AR
Dosen Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar. Aktif menulis tentang wacana keagamaan dan sufisme dan mengisi konferensi baik nasional ataupun internasional